Bahas Pemindahan IKN, Negara Diminta Menghargai Eksistensi Kesultanan Kutai


Akurasi.id, Tenggarong – Gegap gempita rencana pemindahan ibu kota negara (IKN) ke Kaltim menyisakan kekecewaan dari kerabat keluarga Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura. Sejak megaproyek itu dihembuskan, baik pemerintah pusat, gubernur, dan bupati disebut hampir tidak pernah ber-suwun kepada Kesultanan Kutai.
Sebagai bagian dari kerajaan tertua di Nusantara dan pemangku hibah grant sultan, kerabat Kesultanan Kutai sewajarnya berkecewa hati dengan ketiadaan penghormatan dan penghargaan atas eksistensi mereka. Karena bagaimanapun, Kesultanan Kutai merasa masih memiliki hak atas tanah dan wilayah di Kaltim.
Ketua Pengelola Tanah Perwatasan Grant Sultan, Kesultanan Kutai, Adji Pangeran Ario Jaya Winata mengatakan, eksistensi kerabat Kesultanan Kutai atas tanah dan wilayah di Benua Etam -sebutan Kaltim- tertuang dalam pernyataan kesepakatan pemangku hibah grant sultan.
Di situ, kata dia, terdiri dari enam pemangku hibah, yakni Adji Bambang Ruslani, Adji Bambang Wiryawan, Adji Purnawarman, Adji Raden Hoyo Sastro, Adji Pangeran Ario Jaya Winata, dan Adji Bambang Ainuddin. Keberadaan enam pemangku hibah itu langsung berada di bawah Sultan Adji Muhammad Arifin.
“Maksud dari dibentuknya pemangku hibah sultan ini, sebagai wujud penghargaan terhadap keberadaan kesultanan. Karena eksistensi Kesultanan Kutai diakui secara yuridis kultural dan formal oleh negara,” kata dia, Sabtu (19/10/19).
Tidak Ada Tanah Negara, Hanya Tanah Swapraja
Klaim pemerintah pusat adanya tanah negara di lokasi pembangunan IKN yang membentang dari Penajam Paser Utara (PPU) hingga ke Samboja, Kutai Kartanegara (Kukar) ditepis Kerabat Kesultanan Kutai Ing Martadipura. Disebutkan, jika tidak ada tanah negara di kawasan itu, melainkan hanya tanah swapraja saja.
Adji Pangeran Ario Jaya Winata atau yang lebih karib disapa Adji Zamrul SWinata menyampaikan, sebuah wilayah dapat dikatakan tanah negara ketika tanah tersebut bebas dari hak milik. Adapun yang diserahkan Sultan Aji Muhammad Parikesit ke Presiden Soekarno ketika bergabung ke Republik Indonesia, hanya tanah swapraja seperti kantor atau keraton, bukan tanah semuanya.
“Di Kutai ini tidak ada tanah negera. Tanah negera itu apabila bebas dari hak milik. Banyak pejabat sekarang tidak mengerti hal itu. Eksistensi kesultanan ini meski diakui. Kalau memang mau mengambilnya, mesti ada tata kramanya. Karena kami enggak pernah menjual tanah,” tegas dia.
Dalam perkara itu, Kerabat Kesultanan Kutai sedianya tidak ingin menghalang-halangi rencana Presiden Joko Widodo memindahkan IKN ke Tanah Benua Etam. Tetapi bagaimana agar pemerintah menghargai eksistensi dari keberadaan Kesultanan Kutai.
“Kami hanya ingin supaya dihargai. Masa kerajaan enggak punya tanah, kan lucu. Di sini ada namanya tanah adat, ulayat, tanah kenyat nyawanya, dan sebagainya. Semua itu bermuara pada kepentingan rakyat,” tuturnya.
Seperti halnya tanah Samarinda, lanjutnya, jika Kesultanan Kutai ingin menggugatnya, maka bisa saja dilakukan. Karena tanah itu adalah milik Kesultanan Adji Muhammad Parikesit. Tanah itu adalah tanah swapraja yang diserahkan Kesultanan Kutai, termasuk di Tenggarong.
“Yang disebut Kutai itu adalah PPU, Balikpapan, Samarinda, Bontang, Kutai Timur, Kutai Barat, dan Kutai Mahakam Ulu. Kami berharap ini diakui. Ini ada sejarahnya. Jangan mentang-mentang sudah merdeka lalu mengambil sesukanya. Di Jawa (Kesultanan Yogyakarta) saja masih dihargai, masa kami sebagai kerajaan tertua di Indonesia tidak,” imbuhnya.
Lokasi IKN Masuk Tanah Grant Sultan

Adji Pangeran Ario Jaya Winata menyebutkan, jika tanah yang hendak dijadikan lokasi pembangunan IKN di Kabupaten PPU, sedianya termasuk dalam tanah grant sultan atau tanah yang masuk dalam kesepakatan enam pemangku hibah.
Tanah hibah atau yang dikenal dengan nama tanah limpah kemurahan dalam bahasa kesultanan itu, disebut telah dibagi kepada masing-masing ahli waris sejak 1902. Dengan demikian, para ahli waris merasa masih memiliki hak atas tanah tersebut.
“Tanah yang akan dijadikan lahan IKN di PPU, itu tanah grant sultan. Bahasa kesultanannya, tanah limpah kemurahan. Tanah itu sudah dihibahkan kepada seluruh anak kesultanan jauh sebelum merdeka,” jelasnya.
Kerabat Kesultanan Kutai tidak mempersoalkan masyarakat yang tinggal dan hidup di atas tanah tersebut. Sebab, mereka memiliki hak garap. Hanya saja, ketika ada masyarakat yang hendak menjualnya, maka dapat berhadapan dengan hukum.
Dia mencontohkan, seperti halnya lahan yang digarap PT ITCI Kartika Utama, tidak termasuk dalam hak milik, tetapi hanya sebatas hak garap. Jika merujuk aturan pemerintah, izin yang dimiliki perusahaan itu hanya sebatas hak guna usaha (HGU) saja.
“PT ITCI itu hanya hak garap. Makanya, kalau habis masa izinnya, ya dikembalikan ke BPN (Badan Pertanahan Nasional). Makanya, yang mereka serahkan itu bukan tanahnya, tetapi hanya HGU. Tanah kesultanan yang masuk di IKN hampir 180 ribu hektare. Mulai dari Sepaku, Semoi, Samboja, Muara Jawa, hingga Jonggon,” sebutnya.
Belum Ada Penyampaian Resmi dari Pusat
Adji Pangeran Ario Jaya Winata cukup menyayangkan ketiadaan penghargaan atas eksistensi Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura terhadap rencana pemindahan IKN ke Kaltim. Hingga dengan saat ini, tidak ada satu pun perwakilan pemerintah yang menyampaikan secara resmi rencana itu kepada Kesultanan Kutai.
“Sampai saat ini, pemerintah belum ada menyampaikan secara resmi kalau tanah di PPU dan sekitarnya dijadikan lokasi IKN. Kalau memang pemerintah memerlukan tanah itu, silakan saja, tetapi mesti menghargai juga keberadaan kesultanan,” ketusnya.
Sebagai bagian dari Negera Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Adji Pangeran Ario Jaya Winata dan kerabat kesultanan yang lain, sejatinya merasa cukup bangga dengan ditunjuk dan dipercayakannya Kaltim sebagai lokasi IKN.
“Tetapi bagaimanapun kami juga ingin dihargai eksistensinya. Paling tidak, pemerintah pusat menghargai kami. Pemerintah pusat maupun gubernur dan bupati belum ada menyampaikan kepada kami soal rencana pembangunan IKN ini. Karena mereka beranggapan itu tanah negara,” imbuhnya.
Kehormatan Kesultanan Kutai Jangan Dinafikan

Hal senada juga disampaikan Adji Punawarman saat bertemu awak media di Kraton Kesultanan Kutai di Tenggarong. Wakil ketua Pengurus Pengelola Tanah Perwatasan Grant Sultan Enam Pemangku Hibah itu, merasa cukup sedih dengan minimnya penghargaan terhadap eksistensi Kesultanan Kutai.
“Kami merasa sedih ketika banyak pejabat mengatakan kalau lokasi IKN itu adalah tanah negara. Padahal Kesultanan Kutai baru gabung NKRI 1959. Sebelum itu, Kesultanan Kutai berkuasa penuh. Di dalam arsip sejarah nasional ada menjelaskan,” ucap dia.
Dia meminta, agar pemerintah pusat, menteri, gubernur, dan bupati setempat tidak menafikan begitu saja keberadaan Kesultanan Kutai dalam hal ini Sultan Adji Muhammad Arifin dan kerabat keluarga kesultanan yang lainnya.
“Kami cinta NKRI. Kami bangga dengan bangsa ini. Tetapi setidaknya pemerintah pusat, presiden, menteri, maupun gubernur dan bupati di Kaltim, hendaknya memberikan satu penghargaan kepada kesultanan dan kerabat yang telah menguasai tanah ini sejak 1902,” katanya.
“Kehormatan kesultanan jangan dinafikan begitu saja. Kami menyampaikan kepada presiden, tolong dihargai apa yang jadi jerih payah nenek moyang kami terdahulu. Kenapa kami memilih ber-statmen di keraton ini, karena ini dibangun oleh Kesultanan Kutai, nenek moyang kami, yang ketika itu berkuasa penuh secara politik, budaya, dan ekonomi,” sambung dia.
Adji Punawarman mempersilahkan pemerintah pusat mengambil tanah Kerabat Kesultanan Kutai sebagai lokasi pembangunan IKN. Namun dengan catatan, tanah tersebut tidak boleh diperjualbelikan dalam bentuk apapun.
“Silakan negera mengambil tanah kerabat ini, tetapi syaratnya, ketika ada transaksi jual beli yang dilakukan ke orang lain selain kami, maka akan kami tuntut. Tidak boleh ada transaksi. Atau sekalian negera memberikan kompensasi kepada kami jika itu dilakukan,” pungkasnya. (*)
Penulis: Dirhanuddin