Menguak Fakta di Balik Hasil Pilpres di Kaltim


Akurasi.id, Samarinda – Banyak orang yang beranggapan bahwa Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 di Kalimantan Timur (Kaltim) akan dimenangkan pasangan Calon Presiden (Capres) dan Wakil Presiden (Cawapres) nomor urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno. Anggapan ini dapat diamini apabila ditilik dua aspek: penguasaan terhadap provinsi dan problem ekonomi yang kerap dikeluhkan sebagian masyarakat Bumi Etam.
Mari kita telaah aspek pertama. Anda tentu sudah tahu, provinsi yang memiliki begitu banyak kekayaan sumber daya alam ini dipimpin gubernur dan wakil gubernur yang diusung partai koalisi Prabowo-Sandi. Pada pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018, Isran Noor-Hadi Mulyadi memenangkan kontestasi demokrasi di Kaltim.
Keduanya berhasil “menyingkirkan” tiga lawannya: Andi Sofyan Hasdam-Rizal Effendi, Syaharie Jaang-Awang Ferdian Hidayat, dan Rusmadi Wongso-Safaruddin. Kemenangan itu menandai babak baru peralihan kekuasaan dari kader partai koalisi Joko Widodo-Jusuf Kallah (JK) kepada kader partai yang berkoalisi dengan Prabowo.
Isran-Hadi diusung gerbong koalisi Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Di pilkada tahun lalu, Isran memegang mandat dari Gerindra. Sementara Hadi berada dalam jajaran elit PKS. Tak heran, dia dapat mengantongi tiket dari partai berlatar dakwah itu untuk mendampingi Isran. Sementara PAN, sebagaimana yang Anda ketahui, adalah salah satu partai pendukung yang tergabung di Koalisi Merah Putih (KMP).
Meski begitu, selama tahapan Pilpres 2019, Isran-Hadi tidak memberikan dukungan secara terbuka kepada Prabowo-Sandi. Di depan awak media, Isran pernah berdalih, dia tak ingin masyarakat Kaltim terbelah. Namun tak ada satu pun orang yang dapat menyangkal, keduanya secara tersirat melabuhkan pilihan pada capres dan cawapres nomor urut 02.
Kekecawaan Publik
Bagaimana dengan aspek kekecewaan publik karena kinerja ekonomi selama pemerintahan Jokowi-JK? Kami menerima beragam keluhan dari masyarakat khususnya kalangan akar rumput yang berprofesi sebagai pedagang. Selama Jokowi memimpin Indonesia, pendapatan sebagian pedagang turun secara signifikan. Sepekan sebelum pemilihan yang berlangsung pada 17 April 2019, kami pernah berdiskusi dengan seorang pedagang di pasar Samarinda dan Kutai Kartanegara (Kukar).
Di dua daerah tersebut, secara umum pedagang mengeluhkan turunnya daya beli masyarakat. Salah seorang pedagang sembako di Kecamatan Loa Janan, Kukar, dengan nada kesal, menyalahkan Jokowi atas fenomena tersebut. Tetapi daya kritisnya hanya disalurkan lewat diskusi “lintas liur” di kalangan terbatas.
Di lain sisi, sejumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang kami wawancara menyampaikan hal senada. Mereka menaruh kekecewaan terhadap kepemimpinan Jokowi. Sepekan sebelum pemilu, nyaris semua abdi negara di Kaltim yang kami mintai keterangan melabuhkan pilihan kepada Prabowo-Sandi.
NH (35), seorang PNS di lingkungan Pemerintah Kota (Pemkot) Samarinda, di Pemilu 2014 memberikan dukungan kepada Jokowi-JK. Namun di pemilu tahun ini, dia menjatuhkan pilihan pada Prabowo-Sandi.
“Di pilpres kali ini saya memilih (presiden dan wakil presiden) baru. Paham ‘kan maksud saya? (Saya akan memilih) Prabowo-Sandi. Saya pengen tahu (kinerja presiden dan wakil presiden) baru,” sebutnya.
Dua kelompok pemilih tersebut mendasarkan pandangannya pada aspek yang sama. Jokowi dinilai gagal melambungkan kesejahteraan masyarakat Kaltim. Pada sebagian orang, memang begitulah kenyataannya. Faktanya selama Jokowi memimpin bangsa ini, Kaltim diguncang beragam problem ekonomi.
Setahun pasca mantan Wali Kota Solo itu menahkodai republik ini, pertumbuhan ekonomi Kaltim berada di titik nadir. Pada 2015, provinsi ini menikmati pertumbuhan ekonomi di minus 1,2 persen. Tak jauh berbeda dengan tahun berikutnya. Kaltim masih merasakan kontraksi pertumbuhan ekonomi.
Beragam sumber yang dihimpun media ini, menyebut, pertumbuhan ekonomi yang rendah disebabkan melemahnya kontribusi sektor pertambangan dan migas. Rendahnya daya beli terhadap batu bara disebut biang utamanya. Sebagai provinsi yang menikmati pendapatan dari sektor tersebut, permintaan (demand) terhadap batu bara yang rendah berimbas terhadap sektor-sektor lain. Pasalnya batu bara adalah komoditas utama yang berkontribusi besar terhadap pembentukan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kaltim.
Fenomena ini menandakan perekonomian Kaltim dipengaruhi sentimen global. Pada dua tahun pertama kepemimpinan Jokowi, mitra dagang utama Kaltim di sektor batu bara seperti Tiongkok, India, dan Jepang, belum keluar dari tekanan perekonomian global. Imbasnya, permintaan terhadap batu bara turun drastis.
Namun tiga tahun terakhir, sektor tambang dan migas kembali bergeliat. Peningkatan permintaan dan harga berefek terhadap meningkatnya produksi batu bara. Seturut dengan itu, pertumbuhan ekonomi Kaltim kembali bergeliat. Bertambahnya pendapatan pemerintah dari sektor tambang dan migas berefek terhadap geliat ekonomi di akar rumput.
Membandingkan Perolehan Suara
Dua hal yang kami uraikan di atas dijadikan dalih sementara pihak menyimpulkan capres dan cawapres nomor urut 01, Jokowi-Ma’ruf, akan mendapat sentimen negatif dari pemilih di Kaltim. Tentu saja indikator paling riil adalah suara publik Kaltim di media sosial yang didominasi haters calon presiden petahana itu.
Bagaimana hasilnya? Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kaltim telah merampungkan pleno rekapitulasi suara di tingkat provinsi. Hasilnya, Jokowi-Ma’ruf unggul di sebagian besar daerah di Benua Etam. Pasangan tersebut menang di delapan kabupaten/kota: Balikpapan, Bontang, Kukar, Penajam Paser Utama (PPU), Mahakam Ulu, Kutai Barat, Kutai Timur, dan Berau. Sementara lawannya hanya unggul di Samarinda dan Paser. Berikut perolehan suara dua capres dan cawapres tersebut.
Daerah | Perolehan Suara | Total | Selisih Suara | |
Jokowi-Ma’ruf | Prabowo-Sandi | |||
Paser | 68.293 | 81.381 | 149.674 | 13.088 |
Samarinda | 209.208 | 231.570 | 440.778 | 22.362 |
Kukar | 215.055 | 172.609 | 387.664 | 42.446 |
Berau | 78.348 | 49.100 | 127.448 | 29.248 |
Kutai Barat | 74.066 | 17.265 | 91.331 | 56.801 |
Kutai Timur | 124.567 | 61.676 | 186.243 | 62.891 |
PPU | 55.598 | 43.645 | 99.243 | 11.953 |
Balikpapan | 199.737 | 165.413 | 356.150 | 34.324 |
Bontang | 53.927 | 45.121 | 99.048 | 8.806 |
Mahakam Ulu | 16.046 | 2.662 | 18.708 | 13.384 |
Jokowi-Ma’ruf mendapat 1.094.845 suara dan Prabowo-Sandi meraih 870.442 suara. Dua pasangan calon tersebut memiliki selisih suara 224.403. Selisih terbesar suara didapatkan pasangan calon nomor urut 01 di Kukar, Kutai Barat, dan Kutai Timur.
Secara persentase suara, terjadi peningkatan pemilih Jokowi dan Prabowo dibanding di pemilu sebelumnya. Hal ini disebabkan bertambahnya Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan partisipasi pemilih di Pemilu 2019. Selain itu, di pemilu lima tahun lalu Jokowi menang di sembilan kabupaten/kota di Kaltim—minus Kabupaten Mahakam Ulu. Tahun ini, mantan Gubernur DKI Jakarta itu tak dapat mempertahankan keunggulannya. Berikut perbandingan perolehan suara head to head dua capres tersebut:
Calon Presiden | Pemilu | Tambahan Suara | |
2014 | 2019 | ||
Jokowi | 994.842 | 1.094.845 | 100.003 |
Prabowo | 590.272 | 870.442 | 280.170 |
Merujuk data tersebut, sejatinya penambahan suara Prabowo jauh lebih tinggi dibanding Jokowi. Jika 2014 Jokowi menang dengan perolehan suara 62,76 persen, maka tahun ini dia hanya mendapat 55,7 persen. Sebaliknya pada pemilu yang lalu, Prabowo memperoleh suara 37,24 persen. Tahun ini suaranya bertambah menjadi 44,3 persen. Selisih perolehan suara keduanya hanya 11,4 persen. Selisihnya jauh lebih rendah dibanding lima tahun lalu yang berkisar di angka 25,52 persen.
Kenaikan persentase suara Jokowi hanya terjadi di Kutai Barat. Di Paser, Samarinda, Kukar, Berau, Kutai Timur, PPU, Balikpapan, dan Bontang, perolehan suara Jokowi turun. Sebaliknya, suara Prabowo meningkat di sejumlah daerah tersebut. Berikut perbandingan persentase perolehan suara keduanya:
Daerah | Jokowi | Prabowo | ||
2014 (%) | 2019 (%) | 2014 (%) | 2019 (%) | |
Paser | 56,5 | 45,6 | 43,5 | 54,4 |
Samarinda | 58,15 | 47,4 | 41,85 | 52,6 |
Kukar | 63,81 | 55,4 | 36,19 | 44,6 |
Berau | 69,07 | 61,4 | 30,39 | 38,6 |
Kutai Barat | 78,27 | 81 | 21,37 | 19 |
Kutai Timur | 68,56 | 66,8 | 31,44 | 33,2 |
PPU | 57,39 | 56 | 42,61 | 44 |
Balikpapan | 59,06 | 54,6 | 40,94 | 45,4 |
Bontang | 62,84 | 54,4 | 37,16 | 45,6 |
Mahakam Ulu | – | 85,7 | – | 14,3 |
Fakta Terselubung
Perbandingan dua pemilu tersebut mencerminkan fakta yang kerap disimpulkan para pengamat politik. Dukungan mayoritas partai politik dan kepala daerah tak sepenuhnya membuat pasangan capres dan cawapres memenangkan kontestasi demokrasi.
Kenyataannya pada 2014, Prabowo didukung mayoritas partai politik (Golkar, Gerindra, PAN, PKS, Demokrat, dan PPP) serta gubernur dan sejumlah kepala daerah di Kaltim. Namun, perolehan suaranya relatif kecil. Sementara Jokowi hanya didukung PDIP, PKB, NasDem, dan Hanura. Lima tahun lalu, dia memperoleh kemenangan telak di Kaltim.
Sebaliknya tahun ini Prabowo didukung minoritas partai politik. Namun perolehan suaranya di Kaltim dapat meningkat signifikan. Jokowi yang ditopang koalisi jumbo justru memperoleh persentase suara yang lebih rendah dibanding pemilu sebelumnya. Apakah kontribusi partai politik pengusung capres dan cawapres tergolong rendah? Ada indikasi kuat partai politik tidak all out mendukung pasangan calon yang diusungnya. Sebagaimana yang disampaikan Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro di Republika.co.id, pemilu serentak membuat partai politik lebih mengedepankan pemilihan legislatif.
Kata dia, apabila partai politik mendukung capres dan cawapres secara maksimal, maka perolehan suara partai tersebut dikhawatirkan turun. “Takutnya tidak memenuhi kuota empat persen. Itu saja sebetulnya. Jadi ada kekhawatiran dari semua partai, tidak hanya satu partai,” ujarnya. (*)
Penulis: Ufqil Mubin
Editor: Ufqil Mubin