Covered StoryHeadline

Tatkala CPO dan Batu Bara Mulai Ditinggalkan, Pariwisata Jadi Jalan Terbaik Ekonomi Kaltim

Loading

"Tatkala

Membangun sumber ekonomi dari sektor CPO dan batu bara mulai ditinggalkan. Selain stok batu bara yang kian menipis. CPO tidak ramah lingkungan. Pun pertambangan. Wajar jika CPO dan batu bara mulai ditinggalkan. Di tengah isu perubahan iklim. Negara-negara eropa mulai mencari alternatif baru, mendorong energi baru terbarukan (EBT).

Akurasi.id, Kaltim – Dalam 2 dekade terakhir, sektor pertambangan batu bara menjadi ujung tombak ekonomi Kaltim. Sebaran kegiatan pertambangan hampir merata di setiap kabupaten/kota. Ada yang dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).

Kendati menjadi sektor andalan. Pertambangan sebagai tumpuan ekonomi dinilai banyak pihak tidak cukup bagus. Ketergantungan pada ekonomi dunia jadi alasannya. Saat ini hampir semua negara Eropa ramai-ramai mengurangi penggunaan energi tidak terbarukan. Pertambangan batu bara di antaranya.

Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan, pertumbuhan ekonomi Kaltim masih bergantung pertambangan, yakni 41,43 persen. Kemudian 18,90 persen sektor industri dan 8,77 persen sektor pertanian. Lalu 6,46 persen dari sektor perdagangan dan 9,53 persen dari konstruksi.

Jasa SMK3 dan ISO

Kepala BI Perwakilan Kaltim, Tutuk SH Cahyono menyampaikan, ketergantungan ekonomi Kaltim terhadap batu bara berhadapan pada sejumlah tantangan. Pertama, ekonomi Kaltim tumbuh relatif rendah, tidak stabil, dan tidak berkesinambungan. Bergantung dinamika harga batu bara internasional dan cadangan batu bara.

Kedua, di satu sisi, permintaan batu bara dunia semakin berkurang sejalan dengan upaya pengurangan emisi karbon untuk menahan laju global warming. Permintaan Amerika Utara dan Eropa kemungkinan akan semakin berkurang hingga 2040. Hal yang sama pun pada permintaan Asia Pasifik kemungkinan stagnan hingga 2035. Di sisi lain, upaya pengembangan EBT yang ramah lingkungan semakin meningkat.

“Ketiga, dampak penyerapan tenaga kerja sektor pertambangan relatif rendah dan cenderung padat modal. Keempat, daerah utama penghasil batu bara menciptakan ekonomi yang kurang inklusif dengan tingkat kemiskinan yang relatif tinggi,” papar Tutuk akhir pekan lalu.

Baca Juga  Wacana Nama Jalan Ataturk di DKI Berujung Protes, Begini Kronologisnya

Tutuk menyebutkan, kontraksi ekonomi Kaltim utamanya akibat dari sektor pertambangan. Terutama selama masa pandemi Covid-19 yang terjadi secara global. Kontraksi lebih dalam akibat pelemahan beberapa sektor lainnya, yang sudah menurun beberapa tahun terakhir.

CPO dan Batu Bara Mulai Ditinggalkan

Selain pertambangan batu bara. Ekonomi Kaltim banyak bertumpu pada perkebunan kelapa sawit. Namun demikian, pertumbuhan ekonomi dari batu bara dan crude palm oil (CPO), tidak cukup memberikan kestabilan ekonomi Kaltim untuk jangka panjang.

Mayoritas ekonomi kabupaten/kota di Kaltim dari perkebunan kepala sawit pun kurang inklusif. Di sisi lain, harga CPO terus melambat di tengah permintaan yang kuat, terutama dari Tiongkok, Eropa, dan India. Hingga sekarang, 60 persen produksi minyak sawit dan bahan kimia organik Kaltim untuk pasar domestik, terutama ke Pulau Jawa. Sisanya untuk pasar ekspor, mayoritas ke Tiongkok dan Eropa.

Kemudian, harga CPO melambat di fiscal quarter III (Q3), meski masih berada di level yang tinggi. Sejalan dengan kuatnya permintaan Tiongkok dan India pada Q3, serta pemulihan aktivitas dastock hoarding menyambut musim dingin dan akhir tahun.

“Malaysia sendiri sedang mengalami gelombang pandemi sehingga mengganggu kinerja produksi CPO. Walau begitu, produksi dan ekspor masih relatif kuat, terutama permintaan dari Tiongkok dan adanya peningkatan kuota produksi 75 juta ton pada semester II tahun 2021,” jelas Tutuk.

Baca Juga  Yaqut: Kemenag Itu Hadiah untuk NU, Bukan Umat Islam Umum

Kaltim sendiri termasuk dalam 10 besar provinsi produsen kelapa sawit terbesar di Indonesia. Dengan urutan sebagai berikut, Riau 19,9 persen, Kalimantan Tengah 15,7 persen, Sumatera Utara 12.7 persen, Sumatera Selatan 8,5 persen, Kalimantan Barat 8,1 persen, dan Kalimantan Timur di posisi keenam, yakni 8,0 persen.

Lalu ada Jambi 5,9 persen, Kalimantan Selatan 3,5 persen, Sumatera Barat 2,9 persen, Aceh 2,3 persen, Bengkulu 2,3 persen, Sulawesi Utara 2,1 persen, dan 22 provinsi lainnya 8,1 persen. Kendati masuk 10 persen produsen kelapa sawit, namun hilirisasi CPO di Kaltim masih relatif sedikit dan belum ada yang masuk kuadran III (industri hilir bervolume besar).

Yang penting jadi catatan bagi Kaltim bahwa hampir semua negara di dunia sedang masifnya mendorong EBT. Untuk menekan perubahan iklim global yang berlangsung secara ekstrem. Artinya, batu bara dan sawit yang tidak ramah lingkungan, akan mulai tersingkirkan.

Tutuk mengatakan, jika itu sampai terjadi, maka Kaltim patut menyiapkan diri. Mengembangkan sektor lain yang sifatnya jangka panjang dan berkelanjutan jadi keharusan. Pariwisata adalah alternatif terbaik Kaltim.

Baca Juga  Kebutuhan Uang di Ramadan dan Idulfitri Rp2,6 Triliun, BI Terapkan Sistem Karantina

Hilirisasi Berbasis SDA hingga Pengembangan Pariwisata

Di tengah peralihan energi dunia menuju EBT, Kaltim penting melakukan pemulihan dan penguatan ekonomi berbasis jangka panjang. Karena CPO dan batu bara mulai ditinggalkan. Ada 3 opsi yang bisa jadi jalan tengah Kaltim. Pertama, melakukan pengembangan hilirisasi berbasis SDA melimpah. Kedua, pengembangan pariwisata unggulan. Ketiga, pengembangan UMKM berdaya saing.

Tutuk menjelaskan, untuk pengembangan hilirisasi berbasis SDA melimpah, ada 3 hal yang bisa dilakukan. Yakni mendorong hilirisasi batu bara (coal to methanol dll), mendorong hilirisasi CPO, dan mendorong hilirisasi produk lainnya. Misalnya berbahan baku kayu, karet, dan perikanan. Kemudian pengembangan pariwisata unggulan dengan 3 cara. Mendorong peningkatan 3A (akses, atraksi, dan amenitas), mendorong kapasitas pelaku usaha, dan mendorong digitalisasi promosi dan pembayaran.

Baca Juga  Satu Keluarga di Berau Jadi PDP Usai Temukan Gejala Corona Pada Suami yang Ikuti Ijtima Ulama

Penopang atas hal itu, ialah dengan pengembangan UMKM berdaya saing. Caranya dengan mendorong penguatan basis data UMKM, mendorong korporatisasi, peningkatan kapasitas, dan peningkatan akses pembiayaan, dan mendorong UMKM Sukses, UMKM Ekspor, dan UMKM Digital. Serta digitalisasi transaksi non tunai.

Tutuk mengaku, pengembangan sektor pariwisata dan UMKM telah mereka mulai di Pulau Maratua, Berau, sejak 2 tahun lalu. Saat ini hasilnya sudah mulai terasa. UMKM dan pariwisata perlahan tumbuh. Resort dan home stay juga demikian.

“Seiring pandemi yang melandai. Ekonomi masyarakat kembali tumbuh. Mereka sudah siap menerima wisatawan asing. Maupun domestik. Dari pariwisata, semua kecipratan manfaat. Itu namanya konsep pertumbuhan ekonomi inklusif. Pertumbuhan sustainabel, berkesinambungan. Ketika wisata tumbuh, semua menikmati. Itu yang kami usahakan,” tuturnya.

Baca Juga  Larangan Ekspor Setop Tapi Harga CPO Masih Tren Naik

Pariwisata Jadi Jalan Terbaik Ekonomi Kaltim

Mengapa Kaltim harus mulai beralih ke sektor pariwisata? Ada banyak alasan yang mengiringinya. CPO dan batu bara mulai ditinggalkan jadi pertimbangan terdepan. Tutuk menyebutkan, pariwisata memiliki peran dalam pembangunan yang melibatkan banyak stakeholder dalam ekosistem industri dan sumber daya. Rambatan pariwisata terhadap ekonomi pun sangat luas.

Di sisi lain, pariwisata memegang peran penting sebagai sumber pertumbuhan ekonomi dan mendukung perbaikan transisi berjalan. Kemudian penerimaan devisa yang terus meningkat dari pariwisata juga jadi alasan. Pasalnya, penerimaan devisa pariwisata sampai 2019 masih dalam tren yang meningkat, dengan Bali, Jakarta, dan Batam sebagai pintu masuk utama.

Kepala Dinas Pariwisata (Dispar) Kaltim, Sri Wahyuni memaparkan, tren kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) dan wisatawan nusantara (wisnus) di Kaltim sebelum pandemi Covid-19 terbilang sangat bagus. Namun pandemi pada 2019 lalu jadi tantangan di tengah pertumbuhan pariwisata Kaltim.

Baca Juga  Putusan Sidang Lukas Enembe Ditunda

Melihat dalam angka, kunjungan wisnus pada 2015 dan 2016 mencapai 5.897.490 dan 5.899.828 juta. 2017 sebanyak 4.316.220 orang. Angka itu naik drastis pada 2018 dan 2019, masing-masing 7.479.870 dan 7.085.381 orang. Setelah pandemi kian meruncing pada 2020, jumlah kunjungan turun drastis menjadi 2.884.329 orang.

Hal senada pun terjadi pada wisman. Sebelum pandemi, yakni 2015 dan 2016, kunjungan wisman mencapai 53.155 dan 61.376 orang. 2017 dan 2018, masing-masing 58.281 dan 62.424 orang. 2019, angkanya kembali naik menjadi 76.003 wisman. Lalu anjlok pada 2020. Saat itu, kunjungan wisman ke Kaltim hanya 19.786 orang. Faktornya sama, pandemi.

Jika merujuk data tersebut, Kaltim sedianya memiliki daya tarik yang cukup besar. Bila dikemas baik, maka Kaltim dengan Berau sebagai titik sentralnya bisa tampil sebagaimana Bali dan Lombok.

Baca Juga  Budhi Sarwono, Bupati Banjarnegara Nonaktif Jadi Tersangka Lagi

“Berau memiliki Maratua, Derawan, Kakaban, dan Biduk-Biduk. Ada ekowisata bahari dan hutan. Di luar itu, ada Sangkulirang Mangkaliat dan ekowisata karst. Samarinda ada ekowisata bahari berupa susur sungai. Daerah lainnya pun begitu,” papar Sri Wahyuni.

Dalam RIPPARPROV Kaltim 2020-2025, telah terbentuk 3 KSPP (Kawasan Strategis Pariwisata Provinsi) dan 3 KPPP (Kawasan Pengembangan Pariwisata Provinsi), yang memiliki tema Pariwisata Ekowisata Bahari, Ekowisata Hutan, dan Ekowisata Karst.

Keenam kawasan tersebut merupakan sebagai kawasan pariwisata penunjang di sekitar wilayah Ibu Kota Negara Baru (IKNB). “Ke depan, perlu untuk terus melakukan penguatan terkait dukungan infrastruktur dan akomodasi penunjang di dalam maupun di sekitar kawasan pariwisata tersebut,” sambung Sri Wahyuni.

Baca Juga  #Sang Petarung

Pariwisata Ekonomi Berkelanjutan yang Inklusif

Tutuk mendukung hal itu. Meski pandemi menyebabkan mobilitas masyarakat menurun dan berdampak pada terkontraksi kinerja pariwisata. Namun hal itu tidak jadi alasan tidak mengembangkan pariwisata. Pariwisata ke depan menuju pariwisata berkelanjutan yang inklusif (sustainable dan inclusive tourism) dan berkualitas.

Tercatat 54,44 persen wisatawan Kalimantan telah melakukan perjalanan wisata di 2020, dengan mayoritas (82,59 persen) melakukan perjalanan wisata di atas 3 kali dan kebanyakan (66,67 persen) memilih berwisata di dalam provinsinya, terutama berwisata alam dan kuliner.

“Jumlah kunjungan pariwisata baik di Kaltim maupun Kabupaten Berau memang mengalami penurunan yang dalam di 2020. Namun perlahan, geliat pariwisata di Kaltim mengalami perbaikan di 2021, seperti dari mobilitas masyarakat dan tingkat hunian kamar yang perlahan mencapai level sebelum Covid-19,” paparnya.

Baca Juga  Harga Tiket Pesawat Naik, Menhub Restui Demi Keberlangsungan Operasional

Walaupun di 2020 sempat mengalami pelemahan, perlahan pariwisata di Kaltim berangsur pulih. Diharapkan, ini menjadi titik balik kebangkitan pariwisata di Kaltim. Kekebalan komunal lewat vaksinasi pun diharapkan lekas terwujud. Sehingga seluruh kegiatan ekonomi dan sosial dapat kembali pulih. (*)

Penulis/Editor: Dirhanuddin

Print Friendly, PDF & Email

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Terkait

Back to top button