Gaji Kerap Tertunda, Kesejahteraan Ribuan Guru Honorer di Kutim Dipertanyakan


Akurasi.id, Sangatta – Kesejahteraan guru di Kutai Timur (Kutim) dianggap masih timpang jika dibandingkan dengan beban kerja yang diberikan kepada mereka. Utamanya para guru honorer atau tenaga kerja kontrak daerah (TK2D) yang mengabdikan dirinya di daerah pelosok.
Anggota DPRD Kutim Agusriansyah Ridwan menilai, tidak sedikit dari para guru honorer yang diupah di bawah standar. Lebih memprihatinkannya lagi, tidak jarang gaji para tenaga guru honorer yang dibayarkan satu kali per tiga bulan oleh pemerintah.
“Bahkan tidak jarang ada yang sampai enam bulan lamanya. Sebagai mantan tenaga pendidik, saya merasa sangat sedih melihat kesejahteraan para tenaga pendidik di Kutim. Apalagi mereka yang mengajar di daerah pelosok,” kata dia kepada Akurasi.id.
Di mata pria asal Sangkulirang itu, guru adalah pondasi penting dari suatu bangsa. Di tangan mereka masa depan anak-anak bangsa dipertaruhkan. Mereka memiliki tanggung jawab besar mendidik dan mencerdaskan generasi bangsa.
“Sebagai orang dengan latar belakang guru, saya tahu persis bagaimana kebutuhan kesejahteraan para pendidik. Walau tinggal di daerah pelosok, seorang guru honorer tetap harus membayar sewa rumah. Belum lagi biaya kebutuhan setiap harinya,” cakapnya.
Tidak sedikit dari tenaga honorer yang mengabdikan diri di pelosok desa adalah para pendatang. Mereka rela membaktikan dirinya di tengah berbagai keterbatasan. Kerelaan dan keikhlasan itu semestinya dinilai sebagai harta yang besar oleh pemerintah.
“Saat ini, seharusnya tidak boleh lagi ada gaji guru yang rendah. Apalagi digaji terlambat. Anggaran untuk gaji guru harusnya menjadi anggaran rutin. Menjadi prioritas pemerintah. Jangan digunakan untuk peruntukan lain,” kata dia.
Untuk diketahui, gaji guru honorer di Kutim, baik guru SD, SMP, dan SMA, rata-rata berkisar Rp 950 ribu hingga Rp 1 juta per bulannya. Jika ditambah dengan beberapa insentif lainnya, maka yang diterima para guru honorer paling tinggi sekitar Rp1,7 juta hingga Rp 2 juta. Itu untuk mereka yang telah membaktikan diri di atas 7 tahun.
“Semua sekolah dituntut menjadi yang terbaik. Harus terakreditasi. Untuk mendapatkan itu, syaratnya harus terpenuhi sarana dan prasarana pendidikan yang baik. Begitu juga dengan tenaga pendidikan haruslah memadai,” tuturnya.
Menurut dia, jumlah tenaga guru honorer atau TK2D di Kutim mencapai sekitar 2.000 lebih orang. Semestinya, kebutuhan penggajian guru setiap tahunnya sudah cukup jelas. Karena secara data, jumlah guru PNS dan honorer sudah tercatat. Begitu juga dengan kebutuhan pembiayaan.
Sehingga tidak ada alasan lagi bagi Pemkab Kutim untuk menunda pembayaran gaji guru honorer. Agusriansyah berucap, ketika masih ada gaji yang tertunda, artinya pemerintah sengaja membiarkan adanya kesenjangan bagi tenaga pendidik.
“Tenaga pendidik jangan dibiarkan berada dalam kesulitan. Menjadi pahlawan tanpa tanda jasa. Jangan sampai kita membiarkan para guru mencerdaskan anak orang lain. Sedangkan anak mereka terbengkalai karena tidak mendapatkan kesejahteraan yang layak dan baik,” imbuhnya.
Gaji Guru Berdasarkan Sistem Zonasi
Penyetaraan gaji guru honorer yang dilakukan Pemkab Kutim disarankan untuk dipertimbangkan ulang. Pasalnya, kebutuhan antara guru yang mengajar di daerah perkotaan dengan pelosok desa sangat jauh berbeda. Sehingga perlu dibuatkan sistem zonasi dalam penetapan besaran gaji guru honorer.
Politisi Partai PKS Agusriansyah Ridwan melihat, ada kecenderungan menyamakan pemberian gaji maupun insentif terhadap guru honorer yang mengajar di daerah perkotaan dengan di daerah pelosok. Sedangkan setiap daerah memiliki pendapatan yang berbeda.
“Mereka yang mengajar di pelosok harusnya bisa mendapatkan tambahan tunjangan atau insentif khusus. Kalau itu bisa diterapkan, saya yakin akan sangat membantu kesejahteraan para guru honorer yang mengajar di daerah pelosok,” usulnya.
Jika pegawai negeri sipil (PNS) bisa mendapatkan gaji yang memadai disertai insentif dan tunjangan yang baik, maka semestinya tenaga honorer juga bisa memperoleh hak yang serupa. Paling tidak, jika PNS digaji per bulan, maka tenaga honorer juga bisa mendapatkan perlakuan yang sama.
Dari sisi kewajiban dan kebutuhan, antara guru PNS dan TK2D juga nyaris sama persis. Begitu juga dengan tugas dan beban kerja yang mereka laksanakan setiap harinnya juga sama. Bahkan tidak jarang TK2D diberikan beban sebagaimana dikerjakan PNS.
“Guru honorer atau TK2D memiliki kesamaan dalam sisi kinerja. Lalu kenapa ada perbedaan dalam sistem pelayanan kesejahteraan. Pemerintah justru tidak berlaku adil kalau seperti itu. Ini tentu sesuatu yang sangat miris,” cakapnya.
Pemerintah Harus Lebih Peduli dan Bersikap Adil
Sebagai wakil rakyat dari daerah pemilihan Sangkulirang, Sandaran, Kaliorang, Kaubun, dan Karangan (Sangsakaukar), Agusriansyah paham benar bagaimana kondisi tenaga guru honorer di daerah pelosok. Begitu juga dengan perjuangan mereka mencerdaskan anak-anak di pesisir Kutim.
Alumni Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda ini bercerita, tidak sedikit dari guru di daerah pelosok yang harus berjalan kaki hingga puluhan kilometer demi menunaikan kewajiban sebagai seorang guru. Mereka nyaris tidak mengenal panas dan hujan.
Dalam beberapa kesempatan, Agusriansyah tidak jarang menjumpai guru yang harus menyeberangi lautan hanya bermodalkan kapal ketinting demi menuju tempat mengajar. Sementara dari sisi keselamatan, mereka tidak sedikitpun mendapatkan asuransi.
“Kalau saya turun reses, jujur saja, saya merasa sangat miris melihat perjuangan mereka yang begitu besar, sementara kesejahteraan mereka jauh dari kata layak. Jangan sampai ketulusan dan keikhlasan mereka dibiarkan begitu saja,” imbuhnya.
Dana CSR untuk Kesejahteraan Guru Honorer
Seandainya Pemkab Kutim menjalankan kebijakan yang baik dan benar, Agusriansyah yakin, persoalan kesejahteraan guru akan bisa teratasi. Harusnya pemerintah bisa membuat analisis kebijakan dan pemetaan. Dari situ kemudian melahirkan formulasi kebijakan.
Menurutnya, sumber anggaran tidak mesti berasal dari APBD. Tetapi bisa juga menggunakan dana corporate social responsibility (CSR). Karena dihampir semua kecamatan di Kutim terdapat perusahaan, baik pertambangan maupun perkebunan kelapa sawit.
Potensi itu semestinya dimanfaatkan dengan baik oleh pemerintah. Karena dana CSR tidak hanya untuk kebutuhan infrastruktur. Tetapi juga untuk peningkatan sumber daya manusia (SDM) dan kesejahteraan. Tinggal dibuatkan klasifikasinnya oleh pemerintah.
“Seharusnya pemberian insentif guru honorer mendapatkan kepastian. Tidak lagi dibayang-bayangi kata ada atau tidak. Bagi TK2D sebenarnya, mereka tidak terlalu mempersoalkan besar dan kecilnya insentif. Yang mereka mau bagaimana insentif itu bisa rutin dan pasti saja,” ketusnya.
Agusriansyah menyadari, sebagai wakil rakyat, dirinya punya keterbatasan memperjuangkan kesejahteraan masyarakat. Begitu juga dengan para guru honorer. Namun semaksimal yang dia bisa lakukan, Agus mengaku sudah melakukan itu.
“Kalau pemerintah beralasan defisit anggaran, maka seharusnya itu bisa diperjuangkan di pusat. Tinggal bagaimana komunikasi politik yang dilakukan daerah ke pusat. Saya yakin, kalau komunikasi bagus, pasti pemotongan dana perimbangan bisa dikurangi,” tandasnya. (*)
Penulis/Editor: Yusuf Arafah