Ironi Lubang Tambang yang Mengepung “Kemerdekaan” Warga Sangasanga
Akurasi.id, Samarinda – Fajar perlahan menanjak di sisiran bukit kampung Sangasanga. Binarnya begitu memesona. Urana cakrawa tampak begitu senada dengan hijau ranumnya barisan pepohonan yang memagari pedukuhan. Halimun yang membungkus pangkal membuat pedukuhan Sangsasanga begitu anyep.
Sejurus, di arah timur kampung, sebaris anak Adam tampak membayang. Pelan namun pasti, bayangan berubah menjadi tampak. Berjenjang. Pokok bambu yang tergengam erat menghempas ke kanan kiri. Membuat umbul-umbul bercorak merah putih itu terkibas-kibas.
Langkahnya begitu kokoh. Uraian senyum melingkar di wajah. Tawa-tawa kecil menyumbing dari sekumpul anak Adam itu. Di antara mereka ada yang memakai tudung kepala, caping, songkok, dan pernak-pernik lain. Ya, mereka adalah anak-anak pedukuhan Sangasanga.
Sabtu, 17 Agustus 2019, mereka telah berjanji untuk berkumpul di ujung kampung. Rencananya, warga Sangasanga akan menggelar upacara peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Ke-74 Republik Indonesia (RI). Lokasinya berada tepat di samping lubang bekas tambang CV Sanga-Sangsa Perkasa (SSP). Kolam bekas tambang itu memiliki luas sekitar 6 hektare (Ha) dengan kedalaman mencapai 50-60 meter.
Sejak beberapa warsa lalu, kampung Sangasanga telah banyak berubah warna. Bukan karena adanya peningkatan pembangunan yang membuatnya bercorak. Tetapi karena hampir sebagian besar dari kawasan di kampung itu telah berganti wajah jadi lokasi pertambangan batu bara.
Pada Sabtu pukul 08.00 Wita itu, setidaknya ada 290 warga RT 24 di kampung Sangasanga yang tergabung dalam Panca Juang Slamat atau Solidaritas Lintas Keluarga Melawan Oligarki Tambang, meluangkan waktunya mengikuti upacara kemerdekaan. Mereka terdiri dari anak-anak, remaja, dan orang dewasa. Namun sayang, gegap gempika kemerdekaan terasa begitu sumir dinikmati anak-anak di kampung tersebut?
62 Persen Kampung Sangasanga Dikepung Tambang
Sangasanga salah adalah satu kecamatan yang berada di Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar). Merujuk data Jaringan Advokasi Pertambangan (Jatam) Kaltim, dalam beberapa tahun terakhir, sudah ada 34 konsesi izin usaha pertambangan (IUP) batu bara yang diterbitkan pemerintah di kawasan tersebut. Dari 23.340 hektare luas wilayah administrasi Kecamatan Sanga-sanga, hampir 62 persen atau 14.470 hektare dari kawasan tersebut diketahui telah dicaplok menjadi lokasi pertambangan batu bara.
Setidaknya terdapat sebanyak 58 anak yang tinggal di lingkungan RT 24, Sangasanga Dalam. Rata-rata usia mereka berkisar antara 2-14 tahun. Keberadaan aktivitas pertambangan di sepanjang kampung Sangasanga, membuat anak-anak di daerah itu kini tidak lagi leluasa bermain di tanah halaman mereka sendiri. Masih berdasarkan catatan Jatam Kaltim, sampai dengan saat ini, masih terdapat dua lubang tambang yang mengepung kampung Sangasanga.
“Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, disebutkan kemerdekaan itu adalah hak semua bangsa. Hari ini, warga RT 24 menuntut kemerdekaan itu. Mereka (pemerintah) yang menerbitkan izin, namun masyarakat yang dibodoh-bodohkan,” ucap M Zainuri yang bertindak sebagai inspektur upacara Kemerdekaan RI di kampung Sangasanga. “Ketika ada anak-anak tengelam di lubang tambang, mereka (pemerintah) menyalahkan orang tua karena dianggap tidak mampu mengawasi anaknya,” sambungnya.
Pada 2018, kampung Sangasanga Dalam diketahui pernah diterjang banjir besar. Petaka tersebut disebut-sebut sebagai dampak dari aktivitas penambangan yang sudah berlangsung di kawasan tersebut. Terutama dengan adanya perambakan hutan yang letaknya berada di hulu kampung. Sementara kawasan itu menjadi wilayah penyangga.
“Saat ini, kawasan hutan itu telah menjelma menjadi kubangan bekas tambang dan tanah tandus yang tak ideal lagi untuk dibudidayakan buat persawahan maupun perkebunan. Banjir itu sangat membekas di warga. Karena semua pemukiman tidak luput dari banjir. Itulah sebabnya warga dengan tegas menolak hadirnya tambang di lingkungan mereka dan menuntut agar IUP perpanjangan CV SSP dicabut,” jelasnya.
Tolak Penjajahan Berdalih Pertambangan
Upacara hari kemerdekaan RI yang dilaksanakan warga kampung Sangasanga pada Sabtu (17/8/19) adalah sebagai bentuk kritikan atas kebijakan pemerintah yang membuka kegiatan pertambangan di kawasan tersebut. Secara khusus, kegiatan itu bahkan mengangkat tema Rakyat Menolak Dijajah dan Menuntuk Kemerdekaan Sejati.
Sebagai pegiat lingkungan, M Zainur berujar, kebebasan yang diharapkan warga Sangasanga tidak lain adalah bebas dari ancaman lubang tambang. Salah satu lubang tambang yang dimaksud yakni lubang tambang CV SSP yang diketahui hanya berjarak sekitar 56 Meter dari rumah warga Sangasanga.
“Apa artinya kemerdekaan jika masih ada lubang tambang yang mengancam. Apakah kita sudah merdeka jika air saja warga harus membeli. Apa artinya kemerdekaan jika banjir masih menghantui setiap saat. Sudahkah merdeka sementera warga dipaksa angkat kaki dari tanahnya sendiri? Mungkin istana negara sudah, tapi kami belum!” imbuhnya.
Kehidupan Petani Dirampas dengan Dalih Ekonomi
Data Jatam Kaltim mencatat, sampai dengan saat ini terdapat 73 persen atau 9,3 juta hektare lahan Kaltim dikuasai oleh segelintir orang kaya. Aktivitas penggalian emas hitam di tanah Benua Etam –sebutan Kaltim- dinilai telah banyak menimbulkan mudarat daripada manfaat yang diterima masyarakat.
Krisis lingkungan dan sosial dihampir semua kabupaten/kota yang menjalankan pertambangan, disebut tidak kunjung berakhir. Beberapa di antaranya bahkan makin bertambah parah. Banyak sumber air masyarakat yang tercemar akibat aktivitas penggerukan emas hitam tersebut.
Selain itu, perampasan tanah oleh peruasahaan tambang kerap terjadi. Utamanya tanah milik para petani. Tidak jarang, beberapa di antara pemilik tanah yang dikrimininalisasi atas dasar menggangu kegiatan pertambangan. Jatam Kaltim mencatat sebanyak 33 petani dikriminalisasi dalam perkara itu. Bahkan sebanyak delapan orang di antaranya dijebloskan ke penjara.
M Zainur menuturkan, mayoritas taraf hidup msyarakat yang berada di kawasan pertambangan cenderung jatuh ke jurang kemiskinan. Bahkan ironisnya, sebagian dari warga itu ada yang hidup di lingkaran tambang. “Kemerdekaan ada dalam setiap pidato kenegaraan presiden, namun itu tidak dirasakan warga RT 24 Sangasanga Dalam,” cakapnya.
Menurutnya, Kaltim seharusnya bisa merdeka dari penjajahan pertambangan. Apalagi dengan adanya kasus kematian 35 anak di lubang tambang yang hingga saat ini tidak jelas pangkal pinangnya. Jika pemerintah tidak mengambil langkah serius, maka tidak menutup kemungkinan akan ada korban lubang tambang lagi ke depannya. “Apakah anak-anak telah merdeka? Tidak, mereka belum bebas dari ancaman lubang tambang!” tandasnya.
Pada momentum itu, warga Sangasanga, aktivitas lingkungan, dan mahasis yang tergabung dalam komunitas Lindungi Hutan juga melakukan penamanan 1.000 bibit pohon. Mayoritas tanam adalah tanaman yang bisa berbuah. Setidaknya ada 12 varietas pohon yang berhasil dikumpulkan warga. (*)
Penulis/Editor: Yusuf Arafah