Covered Story

Janji Desa Membangun Rp 5 Miliar itu Mandek (3)

Loading

Buruknya kualitas infrastruktur jalan di setiap kecamatan dan desa di Kutim menjadi pekerjaan rumah yang mesti segera dituntaskan pemerintah setempat. (Saipul Anwar/Kaltim Post )

Akurasi.id, Sangatta – Defisit anggaran yang dialami Pemerintah Kabupaten (Pamkab) Kutai Timur (Kutim) berimplikasi besar terhadap berbagai pelaksanaan pembangunan di daerah itu. Salah satunya penyaluran alokasi dana desa (ADD). Sejak 2016, distribusi dana tersebut tak dipenuhi secara utuh oleh Pemkab Kutim.

Baca Juga: Badai Defisit Jadi Kambing Hitam Distribusi Air Bersih (2)

Implikasinya, penyelenggaraan pembangunan di desa terganggu. Pelaksanaan sederet pembangunan desa terhambat. Begitu juga pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat.

Kewajiban penyaluran ADD tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dalam aturan itu disebutkan, ADD adalah bagian dari dana perimbangan yang diterima oleh setiap kabupaten/kota. Besarnya minimal 10 persen dari dana perimbangan setelah dikurangi dana alokasi khusus (DAK).

Kepala Desa (Kades) Selangkau, Hasbullah berujar, penyaluran ADD yang mandek dari Pemkab Kutim sudah menjadi rahasia umum. Penundaan penyaluran dana tersebut terjadi sejak akhir 2016. Terutama penyaluran ADD tahap ketiga atau tahap akhir.

Saat itu pemerintah berdalih, penundaan penyaluran ADD sebagai implikasi pemotongan dana bagi hasil (DBH) yang diterima Pemkab Kutim. Ironisnya, kondisi serupa kembali dialami Kutim pada 2017-2018. Bak seseorang yang kembali terjatuh di lubang yang sama, penyaluran tahap ketiga ADD selalu mandek.

“Rata-rata ADD yang cair hanya tahap satu dan kedua. Sementara tahap ketiga sudah tidak pernah cair lagi. Kekurangan atas pencairan selalu dimasukkan di APBD berikutnya. Misalnya yang tidak cair 2016, maka dialokasikan di 2017. Begitu juga tahun berikutnya,” ungkap dia.

Walau tidak mengingat secara pasti angkanya, Hasbullah menyebut, setidaknya hak desa yang tertunda dari penyaluran ADD sekitar Rp 600-900 juta dari 2016-2018. Untuk penyelenggaraan pembangunan desa, dana sebesar itu tidak kecil.

Apalagi pemerintah desa menggunakan sebagian ADD untuk membayar tunjangan RT, perangkat desa, kegiatan pemberdayaan masyarakat, dan penunjang kegiatan di Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu).

ADD yang tidak tersalur secara maksimal membuat Hasbullah dan perangkat Desa Kaliorang memutar otak. Dia tak ingin persoalan penyaluran ADD membuat pembangunan dan pelayanan di desa yang dipimpinnya terhambat. “Memang ada ketua RT yang tidak menerima gaji sampai delapan bulan. Sejujurnya kami sangat kasihan. Tapi saya tetap meminta mereka menjalankan tugasnya,” kata dia.

Baca Juga  Sungai Perak Semakin Tercemar, Warga Menjerit Meminta Bantuan Air Bersih

Akui Penyaluran ADD Tidak Maksimal

Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Desa (DPMPD) Kutim, Suwandi, mengaku penyaluran ADD dalam tiga tahun terakhir memang banyak yang tertunda. Persoalan defisit anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) yang dialami Kutim dijadikannya dalih.

Suwandi berujar, sebagian ADD yang tidak disalurkan tak dihapus dalam daftar anggaran. Menurut dia, setiap ADD yang tidak tersalur akan dijadikan catatan utang pemerintah untuk dialokasikan pada tahun berikutnya. Misalnya kewajiban ADD yang harus disalurkan pemerintah sebesar Rp 800 juta. Namun dalam pembayaran pada tahun itu pemerintah hanya menyalurkan Rp 600 juta. Maka sisanya dialokasikan di APBD selanjutnya.

“Utang ADD yang harus dibayarkan pemerintah di atas Rp 70 miliaran. Per tahunnya, ADD yang tidak tersalurkan untuk setiap desa berkisar di angka Rp 300-400 juta,” ungkap dia.

Merujuk data tersebut, jika dikalikan dengan desa di Kutim yang mencapai 139 desa, maka setiap tahun pemerintah berutang sekitar Rp 41,7 miliar. Bila dikalkulasi selama empat tahun terakhir, total utang ADD mencapai Rp 166 miliar.

Setiap desa di Kutim mendapat ADD Rp 800 juta hingga Rp 1,5 miliar per tahun. Besar dan kecil ADD dilihat dari beberapa aspek: jumlah penduduk, luas wilayah, kesehatan, pendidikan, dan letak geografis suatu desa.

“Seperti di Sangatta Utara dan Sangatta Selatan, ADD-nya bisa sampai Rp 1,5 miliar. Mereka kebagian banyak karena memang jumlah penduduknya cukup tinggi. Tapi yang jelas, ADD paling rendah yang diterima setiap desa sekitar Rp 800 juta,” jelasnya.

Janji Desa Membangun Rp 2-5 Miliar Tidak Berjalan?

Program desa membangun dengan alokasi anggaran Rp 2-5 miliar adalah salah satu program teranyar yang diusung Bupati dan Wakil Bupati Kutim Ismunandar-Kasmidi Bulang (Ismu-KB). Program di luar ADD itu digaungkan keduanya sebagai bagian dari upaya membangun desa mandiri.

Kades Selangkau, Hasbullah berucap, sejak resmi menjabat pada 2017, dia tak pernah mengetahui pelaksanaan program desa membangun tersebut. Sejauh pengetahuannya, program itu tidak pernah terlaksana di desanya.

“Saya enggak tahu secara pasti apa penyebab program itu sampai enggak jalan. Yang lebih tahu tentang itu adalah pemerintah kabupaten. Tapi yang pasti, kami hanya ingin apa yang menjadi hak desa (ADD) dapat disalurkan sebagaimana mestinya,” imbuh dia.

Baca Juga  Dari OTT Bupati Ismunandar, KPK Obok-Obok 7 Dinas dan 14 Ruang Kerja, Bawa Pulang 10 Koper Dokumen

Sementara itu, Kepala Bappeda Kutim, Edward Azran mengaku, pada saat perencanaan program desa membangun, Ismu-KB memprediksi anggaran Kutim setiap tahun pada rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD) di atas Rp 3,5 triliun. Namun dalam pelaksanaannya, pemerintah memangkas DBH untuk Kutim. Hal ini berdampak pada besaran APBD Kutim. Ini pula yang membuat Ismu-KB meninjau perencanaan pembangunan yang telah dibuat dan disetujuinya. Pemkab Kutim pun menyusun ulang setiap program sesuai skala prioritas.

Pelaksanaan program desa membangun Rp 2-5 miliar yang dicanangkan dan dijanjikan Ismu-KB terpaksa ditunda. Terutama setelah APBD Kutim mengalami defisit besar-besaran pada 2017-2018. Padahal setiap tahun Ismu-KB membutuhkan Rp 300-400 miliar untuk merealisasikan program tersebut.

Kendati demikian, Edward meyakinkan, program desa membangun akan tetap direalisasikan Pemkab Kutim. Melalui penyusunan APBD Perubahan 2019, menurut dia, pemerintah mengalokasikan anggaran untuk mengeksekusi program tersebut.

“Tahun ini mulai dimasukkan anggarannya antara Rp 500 juta sampai Rp 1 miliar. Hanya segitu saja dulu yang dialokasikan. Karena menyesuaikan dengan kemampuan dana pemerintah. Karena hampir semua program pembangunan sudah kami review,” katanya.

Walau dinilai terlambat, Edward berujar, program desa membangun tetap dijalankan Pemkab Kutim. Sebab program tersebut adalah janji politik Ismu-KB kepada masyarakat Kutim.

“Kami anggap dari prioritas satu menjadi prioritas dua. Kami menyesuaikan dengan kemampuan anggaran pemerintah. Pak Bupati saat kampanye pernah mengatakan, kalau dana cukup, program itu akan dijalankan,” sebutnya.

Di Mana Desa Membangun?

Sementara itu, tokoh pemuda Kutim, Irwan mempertanyakan ketepatan dan realisasi program desa membangun. “Memang agak sulit program desa membangun itu selama prioritas membangun desanya tidak terwujud,” terangnya. Dia menambahkan, dana desa (DD) bersumber dari APBN. Sementara ADD berasal dari APBD. Ketika distribusi ADD terhambat namun sektor pembangunan lancar, maka masyarakat patut mempertanyakannya. “Kalau terlambat bagaimana desanya mau terbangun?” tanyanya.

Dia berpendapat, program desa membangun dicanangkan tanpa memperhatikan perencanaan anggaran daerah. Irwan tak sepakat bila defisit anggaran dijadikan kambing hitam di balik tidak tertunainya janji pemerintah. Sebab dalam realisasinya, tiga tahun terakhir APBD Kutim rata-rata Rp 3 triliun per tahun.

“Desa Membangun” Bersama Dewan

Program desa membangun dijadikan alat untuk “merayu” warga Kutim agar pemilih menggantungkan asa kepada Ismu-KB pada perhelatan Pemilu 2015. Janji Rp 2-5 miliar untuk setiap desa per tahun diakui Kasmidi tak terealisasi penuh hingga penghujung masa jabatannya sebagai wakil bupati.

Baca Juga  Jadi Ibu Kota Negara, Masih Layakkah Kaltim Menguras Habis Hasil Sumber Daya Alam?

Namun dia menganggap gelontoran dana sebagai wujud pelaksanaan janjinya itu tak hanya bergantung penuh pada pemkab yang dikomandoi Ismunandar bersama dirinya. Ada peran para wakil rakyat yang menuangkan aspirasi dewan untuk konstituennya. “APBD itu satu paket. Disusun, sepakati, dan dikelola bersama antara pemkab dan dewan. Tak hanya program kami (Ismu-KB). Ada juga aspirasi DPRD. Bisa berbentuk fisik atau bansos/hibah,” tuturnya.

Memang sejauh ini, penggelontoran dana dari pemkab berkisar Rp 1 miliar per tahun. Kendati begitu, pokok aspirasi dewan juga mengucur di daerah pemilihan masing-masing legislator. Jika ditotal, menurut dia, dana untuk desa berkisar Rp 2 miliar per tahun. “Jangan lihat programnya saja. Yang lain juga ini satu kesatuan. Kalau pemkab sendiri memang belum capai. Masih sekitar Rp 1 miliar per desa setiap tahun,” ucapnya.

Dia menegaskan, penilaian tentang APBD tak dapat menggunakan “kacamata kuda”. Masyarakat juga perlu melek terhadap anggaran yang dikelola pemkab. Berdasarkan aturan, sambung Kasmidi, APBD memiliki bagiannya masing-masing: pendidikan wajib 20 persen dan kesehatan 10 persen. Lalu pertanian, perkebunan, dan kelautan 10 persen.

Khusus kabupaten, ada plot anggaran lain untuk dana desa yang harus dialokasikan 10 persen dari besaran APBD. Hanya 40 persen anggaran yang bisa dikelola secara fleksibel untuk bidang lainnya. “Itu saja jelas enggak gerak pembangunan daerah. Saya akui memang target undang-undang untuk itu saja masih sering diterobos agar pembangunan tetap berjalan. Belum ditambah utang rekanan. Jadi jangan melihat kaku. Harus fleksibel,” paparnya.

Kata dia, APBD hanya sebatas prediksi keuangan di atas kertas yang bisa dikelola selama setahun. Keuangan Kutim yang tinggi bergantung DBH harus dimaksimalkan penganggarannya. Pasalnya, DBH bisa diperoleh jika daya serap anggaran sesuai target. Target itu dilihat dari laporan pertanggungjawaban (LPj). “Sesuai target serapan dan pelaporan. LPj harus cepat. Lambat laporan, lambat juga terima pencairan selanjutnya,” jelas dia.

Khusus pengelolaan dana desa, sebut Kasmidi, Bupati Ismunandar meminta DPMD Kutim untuk mengerahkan tim agar mengawal serapan dana yang dikucurkan di desa. “Minimal ada satu orang yang meng-handle dan mengawasi agar dana itu bisa digunakan maksimal, terserap, dan jelas peruntukannya,” terang Kasmidi. (*)

Penulis: Tim Redaksi Akurasi.id
Editor: Ufqil Mubin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Terkait

Back to top button