Menanti Kemerdekaan di Kampung Nyerakat Kiri, 38 Tahun Menyulam Malam dengan Pelita


Sebagaimana kerlap kerlip binar damar di metropolisnya Bontang. Mimpi senada pun menari-nari diangan warga Nyerakat Kiri. Kampung kecil di sudut Kota Bontang itu, sudah puluhan warga menantikan kemerdekaan setrum. Entah kapan akan menjamah puluhan gubuk Kampung Nyerakat Kiri?
Akurasi.id, Bontang – Langit sore di perkampungan Nyerakat Kiri, Kelurahan Bontang Lestari, Kecamatan Bontang Selatan, tampak begitu cerah, hanya sedikit awan yang terlihat. Usman baru saja merapikan barang-barangnya. Tombak sawit, parang, dan perkakas lain dimasukkan ke dalam karung, lalu diangkut ke atas motor.
Jarum jam membidik angka 17.00 Wita, waktunya untuk pria berusia 46 tahun itu kembali ke rumahnya. Setelah beraktivitas seharian di kebun sawit. Rumah panggung dengan dinding kayu seluas 5×10 meter sudah menjadi tempat bernaungnya selama puluhan tahun.
Sekira 15 menit perjalanan dari kebun sawit. Usman menepikan motornya di bawah kolong rumah. Dia lalu menaiki tangga setinggi dua meter. Peluh butiran keringat masih belum kering di badan. Pertanda bahwa ia baru saja menyelesaikan pekerjaan yang berat. Usman pun melepaskan satu persatu kancing bajunya. Baju kain warna orange yang basah akibat keringat, dia lepas lalu digantung ke seutas tali di depan teras rumahnya.
Usman lalu menepi di sudut teras rumah. Memilih kursi kayu yang terlihat sudah usang sebagai singgasana tempat duduknya. Sekadar merebahkan badan untuk menghilangkan panas yang seakan bergulung di dalam tubuhnya.
Belum lama Usman duduk di kursinya, Jumatang, putri keduanya membawakan secangkir minuman panas untuk ayahnya nikmati. “Kopinya, Pak,” kata Jumatang sembari menyodorkan secangkir kopi hitam, yang kemudian disambut oleh Usman.
Sejurus kemudian, pria berbadan tinggi itu mengambil pematik api dari saku celananya, lalu menyalakan rokok yang sudah lebih dulu berada di bibirnya. Sesekali Usman melongo menyaksikan embusan angin yang menyapa dedaunan kering hingga ranggas memeluk tanah. Sembari matanya tak lepas mengawasi anak laki-lakinya, Muhammad Albar yang tengah bermain di halaman rumah.
Sedang sang istri, Sanatang, tengah asyik bergelut dengan asap dapur. Wanita 40 tahun itu harus cepat-cepat menyiapkan makanan untuk keluarganya. Sebelum senja kembali menepi di peraduan malam. Pasalnya, ketika hari mulai gelap, penglihatan Sanatang sangat terbatas. Karena listrik di daerah itu belum ada.
“Saya biasa masak sore hari. Kalau sudah malam agak susah, karena gelap,” ucap Sanatang.
Sembari memasak, lengkingan suara Sanatang memecah keheningan. “Nak, masuk, sudah magrib,” teriak wanita berkulit kuning langsat itu, kepada anaknya yang masih bermain di halaman rumah.
“Iya mak, sebentar,” kata Muhammad Albar, seraya merapikan mainannya.
“Jangan lupa nyalakan pelita,” ujar Sanatang memberi perintah kepada anak ketiganya itu.
Muhammad Albar seketika beranjak ke sudut ruang tamu. Mengambil 3 buah pelita yang terbuat dari botol kaleng bekas, berisikan solar sebagai bahan bakar. Dengan menggunakan pemantik api milik ayahnya, Albar pun menyalakan pelita tua itu untuk penerangan.
38 Tahun Kampung Nyerakat Kiri Menyulam Malam dengan Pelita
Menit berbilang jam, mentari perlahan berganti gulitanya malam, Usman yang sedari tadi duduk termangu di teras rumah, kemudian bergegas menuju bilik kamar mandi, untuk sekadar membersihkan badan. Tak lupa, sebelum memasuki kamar mandi, Usman terlebih dahulu menyambungkan seutas kabel ke aki mobil bekas yang tersambung ke jaringan solar cell (tenaga surya). Seketika, 5 buah bohlam LED ukuran 5 Watt menyala di sudut-sudut ruangan.
Kata Usman, untuk penerangan dia menggunakan tenaga surya. Tapi, itu hanya untuk sekadar menyalakan lampu utama. Karena kapasitas baterai aki mobil bekas yang dia beli beberapa waktu lalu, hanya mampu menyimpan daya sebesar 12 Volt. Tidak bisa terlalu diandalkan. Jadi, untuk penerangan tambahan dia masih menggunakan pelita.
Meski terbilang uzur, bagi keluarga kecil itu, aki mobil bekas yang dia beli 2014 silam tersebut amat berharga. Dari alat penyimpanan daya itu, setidaknya keluarga kecil mereka dapat melewati separuh malam tanpa dipayungi gelap gulita.
Usman bercerita, bagi warga Kampung Nyerakat Kiri, hidup dalam keterbatasan aliran listrik sudah menjadi hal yang begitu lumrah. Karena yang demikian bukan terjadi setahun atau dua tahun ini. Melainkan sudah berlangsung sejak pertama kali ia mengajarkan kaki di tempat itu, medio tahun 1983 lalu. Atau sekitar 38 tahun.
“Listrik PLN di sini belum masuk. Kami semua rata-rata menggunakan pelita untuk penerangan. Kalau tenaga surya cuman saya pakai untuk menyalakan lampu,” katanya.
Jarum jam menunjukkan pukul 18.30 Wita, selepas melaksanakan salat magrib. Usman, bersama sang istri, dan ke-4 anaknya pun berkumpul di ruang tengah, untuk menyantap sajian makan malam. Ruang diskusi pun terbentuk dalam nikmatnya santapan masakan ibu. Seadanya berbagi cerita tentang keseharian antara orang tua dan anak-anak.
Usai makan bersama, Muhammad Albar menepi ke kamarnya. Bocah yang masih duduk di bangku kelas 2 Sekolah Menengah Pertama (SMP) itu mengambil sebuah buku, dan mulai belajar. Dengan bantuan pelita tua, bocah itu membaca kembali materi pemberian gurunya yang dia dapat pagi tadi melalui kelas daring.
Sebenarnya, bocah itu memiliki ponsel Android. Kendati keterbatasan listrik, ponselnya itu tak bisa digunakan maksimal. Untuk mengisi daya, terkadang dia harus ke rumah keluarganya yang berada di RT 9. Sedang dia berada di RT 10. Perlu waktu sekitar 15 menit menggunakan motor untuk menuju ke sana.
“Sebenarnya bisa saja mengisi daya pakai aki tenaga surya yang kami miliki. Tapi, kalau digunakan untuk ces handphone, dayanya akan terkuras. Tidak cukup untuk penerangan lampu,” terangnya.
Pernah terbesit dalam pikiran Usman untuk memiliki sebuah mesin genset. Demi membantu penerangan dan kebutuhan listrik di rumahnya. Namun, gelombang hasrat untuk memiliki sebuah genset pun tak dapat diraih. Penghasilan dari berkebun hanya mampu membiayai kebutuhan sehari-harinya. Menghidupi istri dan ke-4 anaknya bukanlah perkara mudah.
“Dulu sempat terpikir untuk beli genset. Tapi, melihat kondisi ekonomi yang minim, jadi saya urungkan niatnya. Mending uangnya dipakai makan dan biaya sekolah anak-anak,” terangnya.
Hari semakin larut, rembulan tampak begitu pucat di pangkuan malam, udara dingin perlahan membelai dinding rumah Usman yang mulai usang. Pukul 21.00 Wita, baru saja berlalu. Puing-puing keceriaan telah menyatu dengan tilam. Secepat itu mereka larut dalam mimpi. Bohlam 5 Watt yang menyala dari bantuan tenaga surya itu perlahan meredup.
Kala Pelita Tak Kunjung Berganti Setrum, Jalan Kampung Nyerakat Kiri Tidak Kalah Menyedihkan
Usman hanyalah satu dari 25 Kepala Keluarga (KK) yang belum pernah menikmati setrum listrik 24 jam di tempat mereka berpijak. Warga RT 10 di Perkampungan Nyerakat Kiri itu seperti dianaktirikan.
“Di RT 10 ini masih terdapat setidaknya 25 KK yang belum mendapat penerangan. Ketika malam hari, rata-rata warga hanya menggunakan pelita,” kata Mantan Ketua RT 10, Muhammad Tahir.
Tahir pun merasa miris melihat warganya. Akan tetapi ia mengaku tak bisa berbuat apa- apa. Dia berrujar sudah berusaha memperjuangkan kesejahteraan warganya, dengan harapan ada perhatian dari pemerintah.
“Warga mengeluh ke saya. Sejak saya menjabat 2010 silam, pengusulan untuk listrik itu sudah saya ajukan dalam Musrenbang setiap tahunnya. Tapi, hingga kini belum ada pergerakan. Saya tak tahu pasti alasannya apa. Tapi katanya defisit anggaran,” kata pria yang pernah membawahi 68 KK itu.
Tidak hanya listrik, jalan di kawasan itu pun dikeluhkan. Betapa tidak, akses yang digunakan warga telah rusak parah, berlubang hingga licin kala hujan tiba. Tahir mengaku sejauh ini belum tersentuh oleh pemerintah. Akses tersebut merupakan jalan utama warga menuju Dusun Nyerakat.
“Untuk jalan, saya juga sudah pernah ajukan, dari 5 kilometer, baru dicor sekitar 100 meter. Kasihan warga selalu terhambat aktivitasnya. Kalau tidak bisa dicor, paling tidak pengerasan saja dulu,” keluhnya.
Dia mengaku, selama ini warga hanya melakukan swadaya untuk membeli batu menimbun Jalan Setya Lencana sepanjang 5 kilometer tersebut. Tahun lalu, dia bersama warga lain iuran uang hasil panen sawit, hingga terkumpul sekitar Rp40 juta. Kemudian uang tersebut dibelikan tanah untuk pengerasan jalan.
“Tahun kemarin kami pernah iuran untuk pengerasan jalan. Tapi, untuk uang segitu hanya mampu menimbun sekitar 200 meter,” tukasnya. Ia berharap, wilayahnya itu mendapat perhatian dari pemerintah. Baik dari segi penerangan maupun infrastruktur jalan.
Selintas Kampung Nyerakat Kiri, Kampung Kecil di Sudut Kota Bontang
Kampung kecil itu berada jauh di sudut Kota Bontang. Untuk menapaki perkampungan itu perlu waktu sekitar 1,5 jam dari pusat perkotaan. Jalan setapak menjadi satu-satunya akses utama menuju ke sana—setelah melewati jalan utama yang beraspal (jalan houling milik perusahaan). Jalannya tak terlalu lebar, hanya sekitar 2,5 meter, terlalu sempit dan hanya berupa tanah keras berbatu-batu gunung.
Kurang lebih 15 menit mengendarai motor untuk tiba di gerbang kampung. Melewati hutan sawit dan parit dangkal berbatu-batu besar. Terdapat 68 Kepala Keluarga tinggal di sana. Hidup sebagai petani dan tukang kebun sawit. Namun, sebelum sampai ke jalan kampung, dari pintu gerbang itu masih 20 menit lagi mengendarai motor.
Sejatinya, Kampung Nyerakat Kiri itu diimpit oleh sejumlah perusahaan besar. Mulai pertambangan, perusahaan pembangkit listrik, hingga pabrik kelapa sawit. Akan tetapi, selama 38 tahun lamanya, warga RT 10 masih belum mendapatkan layanan listrik dan perbaikan jalan.
Hidup jauh dari keramaian ibu kota, memang menjadi persoalan sukar masyarakat. Acap tidak dilirik. Hanya diperhatikan kala gerasak-gerusuk pesta politik. Menaburkan janji dengan segala dogma. Kemudian menguap seiring riak-riak politik yang berkesudahan. Begitulah nasib yang turut mendera warga Nyerakat Kiri. (*)
Penulis: Fajri Sunaryo
Editor: Dirhanuddin