Covered StoryHeadlinePendidikan

Kontroversi Kenaikan UKT: Sorotan Komisi X DPR dan Respons Kemendikbud

Komisi X DPR Panggil Nadiem Makarim

Loading

Akurasi.id. Jakarta – Kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di berbagai universitas yang memberatkan mahasiswa menjadi sorotan utama Komisi X DPR RI. Protes dari mahasiswa dan kritik dari para legislator memunculkan berbagai reaksi dan langkah untuk meninjau kembali kebijakan ini.

Kenaikan UKT dan Protes Mahasiswa

Kenaikan biaya UKT yang tinggi tengah ramai dibicarakan, bahkan menuai aksi protes dari para mahasiswa. Mereka menuntut agar pihak rektorat dan pemerintah meninjau kembali kebijakan kenaikan UKT dan mencari solusi yang lebih pro rakyat.

Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek, Tjitjik Sri Tjahjandarie, merespons gelombang kritik terkait UKT di perguruan tinggi yang kian mahal. Tjitjik menyebut biaya kuliah harus dipenuhi oleh mahasiswa agar penyelenggaraan pendidikan itu memenuhi standar mutu. Pendidikan tinggi di Indonesia belum bisa gratis seperti di negara lain karena bantuan operasional perguruan tinggi negeri (BOPTN) belum bisa menutup semua kebutuhan operasional.

Komisi X DPR Panggil Nadiem Makarim

Komisi X DPR RI menyoroti persoalan kenaikan UKT ini dengan serius. Wakil Ketua Komisi X DPR, Dede Yusuf, mengatakan pihaknya akan memanggil Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim ke Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, pekan depan. “Minggu depan mungkin, Menteri minta dijadwal ulang,” ujarnya di Jakarta, Sabtu (18/5/2024).

Baca Juga  Kontroversi Wacana Penambahan Jumlah Kementerian di Kabinet Prabowo-Gibran Efisiensi versus Ekspansi
Jasa SMK3 dan ISO

Menurut Dede, kenaikan UKT kali ini tidak wajar. Oleh karena itu, Komisi X DPR akan membentuk panitia kerja (panja) terkait biaya pendidikan. Panja tersebut akan bekerja selama tiga sampai empat bulan untuk memeriksa komponen-komponen yang menyebabkan kenaikan UKT.

Kritik dari Pimpinan Komisi X DPR

Wakil Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian menyesalkan pernyataan Tjitjik Sri Tjahjandarie yang menyatakan bahwa pendidikan tinggi termasuk tertiary education dan tidak masuk program wajib belajar. Hetifah menilai sudah menjadi tugas pemerintah untuk memenuhi hak pendidikan warga negara. “Sangat disesalkan. Saya kira tidak semestinya pemerintah menyampaikan pernyataan seperti itu. Secara normatif memang wajib belajar hanya sampai tingkat sekolah menengah. Namun ini batas minimal pemenuhan tanggung jawab pemerintah untuk memenuhi hak pendidikan bagi warga negara,” kata Hetifah kepada wartawan, Sabtu (18/5/2024).

Hetifah mengungkap bahwa masyarakat mempunyai keinginan tinggi terhadap pendidikan. Oleh karena itu, pemerintah seharusnya responsif untuk memfasilitasi kebutuhan ini dalam bentuk kebijakan.

Baca Juga  Roleplay di Media Sosial: Menjelajahi Seni Keterlibatan Imersif dan Ekspresi Kreatif

Fokus Anggaran Pendidikan Tinggi

Hetifah menilai bahwa pemerintah saat ini terlalu terfokus pada beberapa sektor seperti kesehatan, infrastruktur, penanggulangan stunting, serta pendidikan dasar dan menengah. Sementara biaya pendidikan tinggi cenderung terabaikan. Anggaran pendidikan tinggi baru 1% dari total Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBN). Oleh karena itu, Komisi X DPR RI telah membentuk panja yang akan membahas permasalahan alokasi anggaran pendidikan, khususnya yang dialokasikan ke Kemendikbudristek.

Dasar Hukum dan Pembagian UKT

Besaran UKT ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 2 Tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT) di Lingkungan Kemendikbudristek. Selain itu, ada Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 54/P/2024 tentang Besaran Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi.

Baca Juga  Mengenal Apa Itu GERD, Berikut Penyebab dan Cara Mengobatinya

Merujuk Pasal 6 Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 2 Tahun 2024, tarif UKT bagi mahasiswa program diploma dan program sarjana paling sedikit terbagi dalam dua kelompok: Kelompok I sebesar Rp500 ribu dan Kelompok II sebesar Rp1 juta. Pemimpin PTN bisa menetapkan kelompok lain dengan nilai nominal tertentu paling tinggi sama dengan besaran biaya kuliah tunggal (BKT) yang sudah ditetapkan pada setiap program studi.

Penjelasan Tjitjik Sri Tjahjandarie

Tjitjik menjelaskan bahwa pendidikan tinggi merupakan pendidikan tersier dan opsional. Alokasi fokus anggaran pemerintah lebih kepada pendidikan wajib belajar, bukan pendidikan tersier. Pendanaan pemerintah untuk pendidikan diprioritaskan untuk pembiayaan wajib belajar, sesuai dengan amanat undang-undang. Meski begitu, negara tetap memberi Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN).

Namun, dana pendidikan yang ada belum mencukupi karena prioritas utama adalah pendidikan wajib. “Selama ini bantuan BOPTN untuk perguruan tinggi belum bisa memenuhi seluruh kebutuhan operasional penyelenggaraan pendidikan. Mau tidak mau, diperlukan peran serta masyarakat,” kata Tjitjik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Terkait

Back to top button