Covered Story

Mentawir, Surga Kecil di Pesisir PPU, Lokasi IKN yang Kaya Akan Hasil Laut (2-Habis)

Loading

mentawir
Keberadaan hutan mangrove di Mentawir, tidak hanya jadi lokasi destinasi wisata. Tetapi juga jadi sumber mata pencarian warga setempat. (Dirhanuddin/Akurasi.id)

When we heal the earth, we heal ourselves.” (Saat kita menyembuhkan bumi, kita menyembuhkan diri kita sendiri). Demikian dikutip dari David W.Orr seorang Profesor Studi Lingkungan dan Politik asal Paul Sears di Oberlin College Emeritus.

Akurasi.id, Samarinda – Senyum semringah menyungging dari wajah Lamale. Dengan kumis tipis. Rambut yang disemir hitam pekat. Dia tak lepas-lepasnya melemparkan seringai penuh keramahan. Kehadiran rombongan wartawan dan humas Pemprov Kaltim yang tergabung dalam kegiatan Forest Carbon Partnership (FCPF) diterimanya penuh keakraban pada Sabtu (26/10/19) siang itu.

Baca Juga: Bukit Bangkirai, “Perawan” Hutan Tropis di Batas Rencana Pembangunan Ibu Kota Negara (1)

Lamale adalah satu dari sekian warga Kelurahan Mentawir, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), yang dari waktu ke waktu masih begitu setia menjaga kelestarian hutan dan lingkungan. Pria berusia 54 tahun itu menjadi inisiator di balik ditetapkannya Mentawir sebagai bagian dari kampung pro iklim oleh FCPF.

Jasa SMK3 dan ISO

Bersama warga Mentawir lain yang tergabung dalam Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Tiram Tambun, Lamale mengubah hutan bakau yang jadi pagar alami di daerah itu sebagai lokasi destinasi wisata. Tidak hanya itu, di usianya yang kian senja, Lamale mampu memanfaatkan buah mangrove menjadi sesuatu yang bernilai ekonomi.

Di bawah Pokdarwis Tiram Tambun, ketua RT 01 itu, menyulap buah mangrove sebagai sirop, dodol, bedak dingin, dan bahan dasar melukis batik. Sirop hasil olahan Lamale dan warga Mentawir bahkan telah mulai dipasarkan. Beberapa hotel berbintang di Kota Balikpapan disebut sudah menjadi pelanggan sirop buah mangrove tersebut.

Lamale bercerita, awal mula dia mendapatkan ide memberdayakan hutan mangrove sebagai lokasi destinasi wisata dan mengolah buah mangrove, berawal dari ajakan PT Inhutani pada 2015 lalu. Kala itu, Lamale diajak ke Kota Semarang untuk belajar mengolah sirop, dodol, bedak, dan membatik dengan hasil alam. Satu di antaranya yakni buah mangrove.

Sekembalinya dari Kota Semarang, Lamale lantas berpikir untuk mulai mengelola dan memanfaatkan hutan bakau yang membentang luas di Mentawir. Pada awalnya, Lamale mengajak beberapa warga setempat membangun destinasi wisata hutan mangrove. Di antarnya dengan mulai membangun jembatan di dalam mangrove.

Baca Juga  Penjelasan Jokowi tentang Isu Bansos untuk Pelaku Judi Online

“Saya berpikir, di sini (Mentawir) alam sudah menyiapkannya. Kenapa tidak dikembangkan. Saya kemudian meminta bantuan ke PT Inhutani Rp 20 juta membangun jembatan mangrove menggunakan kayu sungkai (kayu putih),” tutur dia.

Usaha yang dilakukan Lamale dan warga Mentawir tidak berakhir sia-sia. Selayaknya dayung bersambut. Dibangunnya jembatan sepanjang 400 meter yang membentang di tengah-tengah hutan mangrove itu dilirik warga lain. Alhasil, hanya dalam waktu sebentar, hutan mangrove menjadi magnet destinasi baru masyarakat Kecamatan Sepaku.

Kebanyakan dari mereka yang bertandang ke hutan mangrove adalah para pelajar. Mulai dari mereka yang masih duduk di bangku SMP hingga SMA. Selain karena menjadi lokasi destinasi wisata, hutan mangrove tersebut juga menjadi lokasi bagi sejumlah sekolah di Sepaku dan daerah sekitarnya sebagai laboratorium penelitian dan pembelajaran.

“Pada 2017 lalu, saat libur Lebaran, hutan mangrove ini pernah dikunjungi sampai 1.700 orang hanya dalam 6 hari saja,” ungkapnya.

Namun biasnya, tingkat kunjungan yang tinggi di tempat itu, lambat laun membuat jembatan mangrove rusak. Selain karena memang kualitas kayunya yang sangat rapuh, Lamale dan warga Mentawir tidak pernah menyangka jika hutan mangrove yang mereka bangun bakal menyedot banyak pengunjung.

Tidak mau ambil risiko, apalagi membahayakan nyawa pengunjung, dengan berat hati Lamale harus menutup wisata hutan mangrove tersebut. Lantaran, di beberapa sisi jembatan ada yang sudah patah. Baik itu kayu penyangganya maupun kayu yang jadi alas kaki berpijak.

“Sekitar 1 tahun lebih wisata hutan mangrove kami tutup. Saya kemudian meminta bantuan PT Inhutani agar menyalurkan bantuan untuk membangun jembatan dengan kayu ulin dengan sepanjang 500 meter. Termasuk untuk 5 gajeboh,” cakapnya.

Setelah membangun ulang jembatan dan gajeboh, sekitar awal tahun ini, wisata hutan mangrove tersebut telah kembali dibuka. Rencananya, untuk menambah spot destinasi wisata, Pokdarwis Tiram Tambun akan membangun tambah jembatan sekitar 100-150 meter. Selain itu, nantinya akan dibangun juga menara pantau.

“Kami akan siapkan teropong. Supaya bisa melihat hutan mangrove dan hamparan laut,” katanya.

Baca Juga  Peristiwa Tragis di Bromo: Kebakaran Savana akibat Pesta Prewedding yang Kelam

Jadi Surga Penyu, Pesut, dan Bekantan

mentawir
Keindahan hutan mangrove menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat. (Dirhanuddin/Akurasi.id)

Hutan bakau atau mangrove yang terbentang luas di Kelurahan Mentawir, Kecamatan Sepaku, Kabupaten PPU, ternyata juga menjadi habitat bagi makhluk laut. Hewan yang mulai langka seperti ikan pesut dan penyu dapat ditemukan di sungai Mentawir yang bersisian langsung dengan hutan mangrove.

Tidak sekadar itu saja, buaya, monyet mangrove, dan bekantan juga dapat dijumpai di hutan mangrove Mentawir. Seperti buaya, biasanya akan muncul di sekitar mangrove pada pagi atau sore hari. Sementara ikan pesut atau penyu biasanya akan muncul pada waktu siang.

“Pesut biasanya muncul saat pagi atau siang hari. Kalau bekantan, biasanya enggak jauh-jauh dari sekitar buah perangat yang ada di mangrove ini. Dan bekantan biasanya muncul pada pagi hari. Masih ada sekitar 10 ekor di sini,” ungkap Lamale.

Destinasi wisata hutan mangrove yang dibangun masyarakat Mentawir tidak hanya menjadi magnet warga Sepaku atau daerah lainnya di PPU dan Balikpapan. Tempat tersebut juga menarik minat dari orang-orang luar negeri. Satu di antara mereka adalah orang-orang dari negara Ceko.

Hampir setiap tahunnya, warga Ceko datang ke Mentawir untuk melakukan kegiatan penelitian. Beberapa di antara mereka bahkan telah memiliki rumah kontrakan di Mentawir. Minat warga asal Mancanegara yang begitu luar biasa terhadap pelestarian lingkungan dan hutan mangrove tidak pernah disangka-sangka Lamale dan warga Mentawir.

“Luas wilayah hutan mangrove yang kami kelola ada 500 hektare. Itu untuk obyek wisata. Kalau yang masuk konservasi PT Inhutani ada 2.000 hektare. Dan secara keseluruhan di Sepaku ada 7.000 hektare,” beber Lamale.

Menjadi Nadir Kehidupan Masyarakat

mentawir
Ketua Pokdarwis Mentawir Lamale saat diwawancara awak media terkait pengelolaan hutan mangrove. (Dirhanuddin/Akurasi.id)

Hutan mangrove menjadi nadir bagi kehidupan masyarakat Mentawir. Hutan itu tidak sekadar menjadi penyangga dari tsunami dan abrasi. Mangrove juga telah menjadi sumber penghidupan para nelayan di daerah itu.

Di bawah kerindangan hutan mangrove, tersimpan banyak hasil laut yang luar biasa. Mulai kepiting bakau dengan berbagai ukuran, udang, dan ikan bersemayam di kawasan hutan bakau. Wajar jika masyarakat Mentawir senada menjadikan hutan bakau sebagai harta hidup yang telah disediakan Sang Pencipta.

Baca Juga  Singkap Proyek Disdik Kutim Diduga Penuh Kejanggalan, Wakil Ketua DPD RI Mahyudin Berencana Bersurat ke Kejaksaan

“Hutan mangrove ini telah menjadi sumber mata pencarian kami di Mentawir. Karena hampir semua masyarakat di sini adalah nelayan. Di sini ada banyak hasil laut,” tuturnya.

Hasil laut seperti ikan, udang, dan kepiting, selain untuk jadi lauk, juga dijual menjadi sumber ekonomi. Kemudian buah mangrove, selain diolah jadi sirop, sarinya dapat dimanfaatkan sebagai dodol. Kemudian daunnya dimanfaatkan sebagai bahan olahan bedak dingin.

Saat ini, Lamale dan anggota Pokdarwis Mentawir yang lain, sedang mengembangkan bedak dingin agar dapat menjadi bahan kosmetik, sehingga ke depannya dapat dipasarkan seperti halnya sirop mangrove yang sudah diperjualbelikan ke sejumlah hotel di Balikpapan.

“Kalau sirop ukuran 600 mililiter, kami jual Rp 20 ribu. Ukuran 160 mililiter kami jual Rp 10 ribu,” pungkasnya.

Mangrove, Sumber Karbon Terbesar Kedua Setelah Gambut

mentawir
Hutan mangrove menjadi penyimpan karbon terbesar kedua setelah lahan gambut.(Dirhanudin/akurasi.id)

Kaya akan hasil laut. Jadi penyangga terhadap abrasi. Mencegah dari bahaya angin puting beliung. Dan mencegah dari potensi tsunami. Itulah sedikit dari manfaat hutan mangrove yang menjadi pagar hutam alami yang dimiliki masyarakat Mentawir.

Social Development Expert FCPF Carbon Fund, Akhmad Wijaya menuturkan, mangrove juga menjadi penghasil karbon biru. Keunggulan lain dari mangrove adalah sebagai penyimpan karbon terbesar kedua setelah lahan gambut.

“Makanya, kami berkomitmen agar mangrove di daerah pesisir itu (Mentawir) menjadi program perlindungan hutan dalam FCPF,” imbuhnya.

Alumni Ilmu Kehutanan Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda ini cukup mengapresiasi inisiatif masyarakat Mentawir yang mau menjaga kelestarian hutan dan lingkungan, di antaranya dengan menjaga dan memberdayakan hutan mangrove sebagai bagian dari nadir kehidupan mereka.

“Kami sangat menghargai inisiatif masyarakat Mentawir melestarikan hutan mangrove. Di sini, kami sudah ada 10 plot permanen untuk mengukur stok karbon. Dan itu bisa jadi contoh menghitung stok karbon secara keseluruhan,” katanya.

FCPF sendiri memiliki target agar masyarakat konsisten menjaga wilayah tutupan di Mentawir. Salah satunya dengan mendorong masyarakat setempat menjadi bagian dari kampung iklim plus. Nantinya, FCPF bakal membantu mencarikan pembinanya.

“Kami juga akan mendorong setiap perusahaan agar lebih fokus mengalokasikan dana CSR (corporate social responsibility)-nya untuk mendukung pelestarian hutan dan lingkungan,” tandasnya. (*)

Penulis: Dirhanuddin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Terkait

Back to top button