Optimis Membangun Kutim: Keuangan Ditopang Penuh DBH (2-Habis)
Akurasi.id – Hasil pertambangan batu bara serta minyak dan gas (migas) menjadi tiang penyangga utama bagi kegiatan perekonomian dan pembangunan di Kabupaten Kutim. Bisa dikatakan, jika kedua sektor ini tak lagi beroperasi, maka seluruh kegiatan perekonomian di Kutim akan lumpuh.
Hal itu bisa diukur dari sumber keuangan pemerintah daerah yang di atas 50 persen berasal dari dana bagi hasil (DBH) pertambangan. Dari APBD Kutim 2019 sebesar Rp 2,9 triliun, Rp 2,18 triliun di antaranya bersumber dari DBH.
Hal itu juga diakui Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kutim, Musyafa Musa. Menurut dia, untuk pendapatan asli daerah (PAD), belum dapat dijadikan pondasi bagi sumber keuangan daerah. Sebab, setiap tahunnya PAD Kutim masih berkisar diangka Rp 150 miliar.
Bila dibandingkan dengan segudang potensi daerah di luar sektor pertambangan dan kelapa sawit, PAD yang terserap itu tergolong masih cukup kecil. Sejauh ini PAD Kutim masih banyak disumbang dari sektor perpajakan.
“Khusus untuk pajak, sesuai UU 28 tahun 2019 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, serta berdasarkan Perda nomor 1 tahun 2011 tentang Pajak Daerah, pemerintah daerah hanya boleh memungut 11 jenis pajak dan 23 jenis retribusi,” ungkap dia.
Untuk di Kutim, dari 11 jenis pajak itu, yang dirasakan cukup dominan memberikan sumbangsi, pertama yakni pajak restoran. Terutama dari kegiatan bisnis katering makanan. Kedua, pajak penerangan jalan. Ketiga, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Cuman untuk BPHTB diakuinya cukup fluktuatif. Sehingga tidak bisa dijadikan barometer penopang PAD. Sebab, kata Musyafa, bisa saja tahun 2018 nilainya besar. Namun di tahun 2019 justru turun. “Kita masih tergantung dengan HGU (hak guna usaha) dari perusahaan,” ujarnya.
Sektor keempat yang cukup potensial yakni, sektor minerba. Jika dioptimalkan, Musyafa berkeyakinan, sektor ini bisa memberikan sumbangan pendapatan daerah yang cukup baik.
Sedangkan untuk penyumbang PAD dari retribusi yang dirasakan sudah berjalan cukup baik antara lain, retribusi persampahan, pasar, pelayanan kesehatan, pengujian kendaraan bermotor (uji KIR dan emisi), pengendalian menara telekomunikasi, IMB (izin mendirikan bangunan), dan kekayaan daerah.
“Untuk masalah retribusi, itu tidak masuk domain Bapenda. Langsung ditagani OPD terkait. Kami hanya sekadar menganjurkan dan mem-push ke instansi terkait supaya memaksimalkan pungutan retribusi. Kalau OPD teknis bekerja maksimal, tentu PAD bisa meningkat,” tuturnya.
Dari sisi aturan, penarikan retribusi merujuk pada tiga peraturan daerah (perda) yakni Perda nomor 8 tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum, Perda nomor 9 tahun 2012 tentang Perizinan Jasa Usaha, dan Perda nomor 10 tahun 2012 tentang Perizinan Tertentu.
“Untuk retribusi IMB, kita punya potensi yang cukup bagus juga. Karena Kutim inikan daerah berkembang, sehingga masyarakat yang mengurus IMB juga cukup banyak,” kata dia.
Sektor Pariwisata Perlu Banyak Inovasi
Sejauh ini dikatakan Musyafa, sektor pariwisata adalah sektor yang belum tergarap maksimal. Padahal dari potensi yang dimiliki daerah terbilang cukup besar. Baik itu potensi wisata di bidang sosial dan kebudayaan, kekayaan hutan, dan laut.
“Kita punya banyak sumber pariwisata. Tetapi domainnya ada di Dinas Pariwisata. Kami hanya memberikan masukan atau saran. Teknisnya ya Dinas Pariwisata yang melaksanakannya,” kata dia.
Menurutnya, jika potensi pariwisata dikelola secara maksimal, maka PAD yang dihasilkan cukup besar. Ia bercermin dari banyaknya sektor pariwisata yang dimiliki Kutim. Mulai dari wisata Karst, Pantai Teluk Lombok, Pantai Teluk Perancis, dan Desa Rindang Banua yang bisa dijadikan destinasi pariwisata.
Selain itu, Kutim juga memiliki sektor pariwisata yang cukup menjanjikan yakni wisata di Hutan Lindung Wehea. Selain karena memiliki kekayaan hutan yang begitu luar biasa, di daerah Wehea juga mempunyai potensi kebudayaan yang cukup menjanjikan bila dikelola dengan baik. Karena terdapat kebudayaan Lomp Lai.
Jika selama ini PAD Kutim bermain diangka Rp 121 sampai Rp 130 miliar, bila semua OPD mengarap maksimal potensi retribusi yang mereka miliki, maka bukan sesuatu yang tidak mungkin PAD bisa ditingkatkan hingga Rp 200 sampai Rp 250 miliar.
“Dinas Pariwisata perlu mengkomersilkan itu dan mempromosikannya lagi secara maksimal. Kalau itu kita kelola, saya rasa cukup besar retribusi yang bisa masuk ke kas daerah,” sarannya.
Genjot Pajak dengan KTP
Menghadirkan kawasan taat pajak (KTP) menjadi salah satu opsi yang coba diambil Bapenda Kutim untuk mengenjot pemasukan sektor perpajakan. Sektor ini dinilai menjadi ladang yang cukup seksi memberikan pundi-pundi keuangan bagi daerah bila digarap secara serius.
Musyafa menurutkan, dalam waktu dekat pihaknya berencana akan membuat spot-spot KTP. Kawasan Sangatta Town Center (STC) akan menjadi salah satu wilayah yang dibidik pemerintah sebagai kawasan percontohan. Baik untuk pembayaran pajak daerah, provinsi, dan pusat.
“Semua di radius STC harus memiliki kesadaran wajib pajak. Jika di situ sudah baik dan bagus, maka akan dilakukan pengembangan ke wilayah lain. Tak menutup kemungkinan akan dibuatkan desa hingga kampung taat pajak,” katanya.
Melalui program itu, diharapkan kewajiban membayar pajak tidak lagi menjadi sebuah beban. Tetapi bagaimana pajak itu bisa dikeluarkan sebagai bagian dari sumbangsi membangun daerah dan masyarakat.
“Dari pajak, pemerintah bisa membangun jalan, pendidikan, kesehatan, dan sarana prasarana pelayanan publik yang lain,” kata dia.
Terebosan lainnya yakni mensinergikan semua potensi PAD dari tingkat desa, kecamatan, OPD teknis dan perusahaan, agar ikut menggalakkan gerakan sadar pajak. “Seperti program pengampunan pajak juga akan coba kami terapkan. Misalnya, pengampunan pajak bumi dan bangunan. Dendanya mungkin akan dikurangi,” sebutnya.
Optimis APBD 2018 Tembus Rp 3,7 Triliun
Langkah Pemkab Kutim melunasi semua utang proyek pembangunan awal tahun 2019 mendatang, sangatlah bergantung pada hasil realisasi APBD tahun 2018. Sebab, Pemkab dan DPRD Kutim memproyeksikan APBD 2018 sebesar Rp 3,7 triliun.
Musyafa menyebut, proyeksi APBD Kutim 2018 sebesar Rp 3,7 triliun sudah termasuk DBH yang dipotong Menteri Keuangan (Menkeu) pada tahun 2016-2017 pasca dilakukan proses gugatan di Mahkama Konstitusi (MK).
Berdasarkan data yang dimiliki Bapenda, kata Musyafa, realisasi APBD 2018 sampai tanggal 31 Oktober lalu sudah 65 persen atau Rp 2,5 triliun. Sedangkan untuk PAD yang ditarget sebesar Rp 159 miliar, realisasinya sudah 72 persen.
“Saya optimis sampai 31 Desember, minimal BEP (break event point). Antara target dan realisasi tercapai. Kurangnya tinggal Rp 1,2 triliun saja lagi. Insyaallah, seluruh dana itu akan ditransfer pemerintah pusat. Karena dananya sudah ada, tinggal ditransfer saja,” tandasnya. (*)