Ancaman dan Tantangan Implementasi KRIS BPJS Kesehatan
KRIS BPJS: Dampak, Kekhawatiran, dan Ketidakpastian Tarif

Akurasi.id. Jakarta, 15 Mei 2024 – Pemerintah Indonesia telah mengumumkan perubahan besar dalam sistem pelayanan kesehatan BPJS Kesehatan dengan penerapan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS). Sistem ini diharapkan mulai berlaku sepenuhnya sebelum 30 Juni 2025, menggantikan kelas 1, 2, dan 3 yang selama ini dikenal oleh peserta BPJS Kesehatan. Namun, meskipun tujuannya adalah untuk menstandarisasi pelayanan kesehatan bagi seluruh lapisan masyarakat, banyak pihak mengungkapkan kekhawatiran dan potensi masalah yang mungkin timbul dari implementasi KRIS ini.
Kekhawatiran Defisit dan Kualitas Pelayanan
Pengamat dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Esther Sri Astuti, menyatakan bahwa penerapan KRIS bisa menimbulkan masalah defisit yang dapat mengganggu kualitas layanan kesehatan. Menurutnya, meskipun standar pelayanan yang sama akan dinikmati oleh semua peserta, ada risiko bahwa kualitas layanan yang sebelumnya dibagi dalam kelas-kelas tertentu akan menurun. Esther menekankan pentingnya pemerintah untuk secara rutin memantau implementasi KRIS agar semua lapisan masyarakat mendapatkan fasilitas yang setara.
Selain itu, Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, menyoroti potensi masalah dengan tarif tunggal yang mungkin diberlakukan. Ia memperingatkan bahwa iuran kelas 1 dan 2 mungkin akan turun, sementara peserta kelas 3 akan dipaksa membayar lebih. Timboel juga memprediksi bahwa tarif tunggal ini bisa berada di rentang Rp42 ribu hingga Rp100 ribu per bulan, yang bisa menyebabkan peningkatan jumlah peserta yang menunggak pembayaran.
Risiko Pengurangan Tempat Tidur di Rumah Sakit
Ketua Umum Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI), Iing Ichsan Hanafi, mengungkapkan bahwa penerapan KRIS bisa menyebabkan pengurangan jumlah tempat tidur di rumah sakit. Hal ini disebabkan oleh salah satu kriteria KRIS yang mengatur maksimal empat tempat tidur dalam satu ruangan dengan jarak antar-tepi minimal 1,5 meter. Iing menyatakan bahwa ini dapat menyebabkan penurunan jumlah tempat tidur di rumah sakit, kecuali jika fasilitas baru dibangun.
Iing juga menyebutkan bahwa lebih dari 70 persen rumah sakit anggota ARSSI siap menjalankan kelas standar ini, tetapi dengan beberapa catatan. Salah satu catatan penting adalah kejelasan mengenai tarif yang akan diberlakukan untuk KRIS. Ia berharap agar tarif yang diterapkan tidak memberatkan rumah sakit dan peserta BPJS Kesehatan.
Ketidakpastian Tarif KRIS
Sampai saat ini, pemerintah belum menetapkan besaran tarif untuk KRIS. Menurut Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dan Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti, tarif KRIS akan diumumkan sebelum 1 Juli 2025. Ketidakpastian ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan peserta BPJS Kesehatan, terutama mereka yang berada di kelas 3 yang mungkin menghadapi kenaikan iuran.
Ali Ghufron Mukti mengimbau agar rumah sakit tidak mengurangi jumlah tempat tidur setelah aturan KRIS diterapkan, karena ini dapat berdampak pada antrean pasien yang memerlukan layanan rawat inap. Ia menekankan pentingnya menjaga akses layanan kesehatan yang memadai bagi semua peserta BPJS Kesehatan.
Penerapan KRIS diharapkan dapat memberikan standar pelayanan kesehatan yang setara bagi seluruh peserta BPJS Kesehatan. Namun, sejumlah kekhawatiran muncul terkait potensi defisit, penurunan kualitas layanan, pengurangan jumlah tempat tidur di rumah sakit, dan ketidakpastian tarif iuran. Pemerintah perlu memastikan bahwa implementasi KRIS dilakukan dengan baik agar tujuan meningkatkan standar pelayanan kesehatan dapat tercapai tanpa menimbulkan masalah baru bagi peserta dan penyedia layanan kesehatan.(*)
Penulis: Ani
Editor: Ani