Akurasi.id – Pemerintah Indonesia berencana untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025, sebuah kebijakan yang memicu banyak kontroversi di kalangan masyarakat. Rencana ini, yang merupakan bagian dari reformasi perpajakan dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) Nomor 7 Tahun 2021, bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara. Namun, kebijakan tersebut diprediksi dapat memberikan dampak negatif terhadap daya beli masyarakat, terutama bagi kelas menengah dan bawah.
Dampak Kenaikan PPN terhadap Pekerja dan Konsumen
Kenaikan tarif PPN ini tentu akan meningkatkan harga barang dan jasa di pasar. Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira Adhinegara mengungkapkan bahwa kenaikan ini bisa memperburuk daya beli masyarakat. Sebagian besar konsumsi rumah tangga Indonesia bergantung pada kelompok kelas menengah, yang diperkirakan menyumbang 35 persen dari total konsumsi nasional. Dengan kenaikan PPN, masyarakat akan terpaksa menahan pengeluaran mereka, yang berpotensi menurunkan permintaan terhadap barang dan jasa, terutama produk sekunder seperti elektronik, kendaraan bermotor, dan kosmetik.
Bahkan, Bhima memperingatkan bahwa pelaku usaha mungkin akan merasakan dampaknya secara langsung, dengan penurunan omzet yang berujung pada pengurangan kapasitas produksi dan potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor industri.
Pengaruh terhadap Industri Perhotelan dan Restoran
Sektor industri yang juga sangat terpengaruh adalah perhotelan dan restoran. Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani menyatakan bahwa kenaikan PPN 12 persen akan memberikan tekanan berat pada industri yang sudah berjuang menghadapi tantangan pasca-pandemi, terutama dalam hal daya beli masyarakat. “Kenaikan PPN ini akan mempengaruhi semua sektor, namun dampaknya akan langsung terasa di industri kami karena konsumen yang menjadi target pasar kami adalah kelas menengah bawah,” ujarnya.
Waktu Berlaku dan Opsi Pembatalan Kenaikan PPN
Berdasarkan UU HPP, tarif PPN 12 persen direncanakan mulai berlaku pada 1 Januari 2025. Kendati demikian, dengan semakin dekatnya waktu tersebut, pengamat ekonomi dan pajak mengusulkan agar pemerintah mempertimbangkan untuk membatalkan kenaikan PPN melalui penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu). Bhima Yudhistira menekankan bahwa penerbitan Perppu akan lebih cepat dan efisien dibandingkan harus melalui revisi UU, yang memerlukan proses panjang di DPR.
Pembatalan ini diharapkan dapat menyelamatkan perekonomian, terutama dengan memperhatikan daya beli masyarakat yang sudah tertekan. Dalam skenario terburuk, kenaikan PPN dapat mendorong masyarakat untuk mencari barang dengan harga lebih murah, termasuk barang ilegal, yang justru dapat menurunkan penerimaan negara dari sektor pajak.
Solusi dari DPR dan Pemerintah
Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, menyerahkan keputusan tentang pembatalan kenaikan PPN kepada pemerintah. Ia menyebutkan bahwa ada berbagai mekanisme yang bisa digunakan pemerintah, termasuk penerbitan Perppu atau opsi lain yang lebih tepat sesuai dengan kondisi perekonomian. DPR RI, kata Misbakhun, siap bekerja sama dengan pemerintah untuk mencari solusi terbaik terkait kenaikan PPN ini.
Kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen pada 2025 menimbulkan banyak perdebatan, dengan dampak utama yang dikhawatirkan adalah penurunan daya beli masyarakat, terutama di kelas menengah dan bawah. Pengamat ekonomi menyarankan agar pemerintah membatalkan kebijakan ini melalui penerbitan Perppu untuk menghindari dampak negatif terhadap perekonomian. Di sisi lain, pemerintah harus memastikan bahwa penerimaan pajak yang meningkat dapat disalurkan kembali ke masyarakat, terutama untuk kelompok yang lebih membutuhkan.(*)
Penulis: Nicky
Editor: Willy