Pro-Kontra Bahlil Lahadalia Gantikan Airlangga Hartarto Sebagai Ketua Umum Golkar: Idrus Marham vs Agung Laksono
Dukungan Idrus Marham dan Aspirasi dari Akar Rumput untuk Bahlil
Jakarta, Akurasi.id – Isu pergantian Ketua Umum (Ketum) Partai Golkar kembali mencuat setelah Airlangga Hartarto menyatakan mundur dari jabatannya pada Sabtu, 10 Agustus 2024. Nama Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia, pun mencuat sebagai salah satu kandidat kuat pengganti Airlangga. Namun, tidak semua kalangan di internal Golkar setuju dengan wacana ini, memicu perdebatan panas di antara para petinggi partai.
Dukungan untuk Bahlil dari Idrus Marham
Dukungan untuk Bahlil datang dari Ketua Dewan Badan Pemenangan Pemilu DPP Partai Golkar, Idrus Marham. Dalam dialog di Kompas TV pada Selasa, 13 Agustus 2024, Idrus menegaskan bahwa Bahlil memiliki dukungan yang kuat dari akar rumput, terutama dari DPD Tingkat 1 dan Tingkat 2. Menurutnya, Bahlil merupakan figur yang layak menjadi ketum karena rekam jejaknya yang jelas dan pengalamannya yang berasal dari akar rumput.
“Bahlil memenuhi syarat, prestasinya jelas, dan dia adalah kader murni. Bahlil itu kader sepatu miring yang artinya melalui proses perjuangan,” kata Idrus Marham.
Idrus juga menegaskan bahwa meskipun Bahlil tidak bisa menjadi pelaksana tugas (Plt) Ketum Golkar karena bukan pengurus partai, aspirasi dari bawah sangat mendukungnya untuk maju sebagai ketum definitif.
Penolakan dari Agung Laksono dan Jusuf Kalla
Namun, tak semua pihak di Golkar sependapat. Ketua Dewan Pakar Partai Golkar, Agung Laksono, menyatakan keberatan jika Bahlil diangkat menjadi ketum. Menurut Agung, ketum definitif harus berasal dari kalangan pengurus partai, baik di tingkat pusat maupun daerah, syarat yang menurutnya tidak dipenuhi oleh Bahlil.
“Siapapun yang akan mencalonkan sebagai Ketum Golkar definitif harus dari kalangan pengurus. Bahlil bukanlah pengurus Partai Golkar di tingkat pusat maupun daerah, karena itu jika Bahlil maju, berpotensi gugur,” ujar Agung Laksono.
Pendapat serupa juga disampaikan oleh politikus senior Partai Golkar, Jusuf Kalla (JK). JK menekankan bahwa tradisi dan aturan partai harus dijaga, termasuk persyaratan bahwa calon ketum harus pernah menjadi pengurus pusat minimal lima tahun dan satu tahun di tingkat bawah atau provinsi. JK juga menolak wacana percepatan musyawarah nasional (Munas) dari Desember menjadi Agustus untuk memilih pengganti Airlangga, menegaskan pentingnya menjaga muruah partai.
“Munas itu Desember, oleh karena itu, kita harus taati itu, muruah partai harus dijaga, jangan hanya karena tekanan-tekanan dari pihak luar sehingga partai harus menyerah,” kata JK.
Situasi Golkar Jelang Pilkada 2024
Dalam situasi ini, Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Ahmad Doli Kurnia, menegaskan bahwa partai sedang fokus menghadapi Pilkada 2024 dan tidak ingin pengunduran diri Airlangga mengganggu konsentrasi partai. Golkar akan segera menggelar rapat pleno untuk membahas pelaksana tugas yang akan menggantikan sementara posisi ketua umum, di mana seluruh wakil ketua umum Golkar memiliki peluang untuk menjadi Plt.
Kesimpulannya, meskipun Bahlil Lahadalia memiliki dukungan yang signifikan untuk menjadi Ketum Golkar, jalan menuju pucuk pimpinan partai beringin itu tampaknya masih dipenuhi rintangan. Dengan adanya perbedaan pandangan di kalangan elite Golkar, masa depan kepemimpinan partai ini akan sangat bergantung pada bagaimana internal partai menyelesaikan perbedaan ini dalam waktu dekat.(*)
Penulis: Nicky
Editor: Willy