HeadlineKabar Politik

Vonis Ringan Harvey Moeis: Sorotan terhadap Independensi Hakim dan Integritas Hukum di Indonesia

Dugaan Intervensi Non-Yuridis dan Pentingnya Pemeriksaan Hakim

Loading

Akurasi.id – Vonis 6,5 tahun penjara yang dijatuhkan kepada terdakwa korupsi tata niaga timah, Harvey Moeis, terus menuai kontroversi. Vonis ini dianggap terlalu ringan dibandingkan tuntutan jaksa yang mencapai 12 tahun penjara. Dugaan adanya intervensi non-yuridis terhadap majelis hakim pun mengemuka, sebagaimana disampaikan oleh ahli hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar.

“Saya menduga ada intervensi non-yuridis terhadap majelis hakim ini sehingga berani nekat menghukum ringan Harvey hanya 6,5 tahun,” ujar Fickar kepada Tempo, Senin (6/1).

Majelis Hakim Berpotensi Diperiksa

Fickar menegaskan pentingnya pemeriksaan terhadap majelis hakim. Menurutnya, hakim yang memutus perkara ini harus diproses baik secara administratif oleh Badan Pengawasan Mahkamah Agung (Bawas MA), perilaku oleh Komisi Yudisial (KY), maupun secara pidana jika terbukti menerima suap atau melakukan pemerasan.

Baca Juga  Kasus Polwan Membakar Suami karena Judi Online: Dua Menteri Jokowi Buka Suara

“Pertimbangan meringankan yang digunakan hakim, seperti terdakwa sopan, belum pernah dihukum, dan memiliki keluarga, sangat mengada-ada dan kasar,” tambah Fickar.

Jasa SMK3 dan ISO

Majelis hakim sebelumnya memutuskan Harvey bersalah melanggar Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU. Selain hukuman penjara, Harvey dijatuhi denda Rp1 miliar subsider enam bulan kurungan dan uang pengganti Rp210 miliar subsider dua tahun penjara.

Baca Juga  Warga China Terlibat Penambangan Emas Ilegal di Kalimantan Barat

Kerugian Negara Rp271 Triliun, Vonis Dinilai Tidak Proporsional

Kasus korupsi yang melibatkan Harvey Moeis menimbulkan kerugian negara mencapai Rp271 triliun. Kejaksaan Agung (Kejagung) menilai tuntutan 12 tahun penjara sudah proporsional sesuai peran Harvey sebagai perwakilan PT Refined Bangka Tin.

“Harus dilihat klasternya. Rp210 miliar (uang pengganti Harvey) dibandingkan Rp4 triliun (uang pengganti Suparta, Dirut PT RBT). Proporsional, jadi jangan dibilang 12 tahun ringan,” tegas Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar.

Komparasi dengan Kasus Lain

Sebagai perbandingan, eks Wasekjen Partai Demokrat Angelina Sondakh, yang merugikan negara Rp13,354 miliar, dituntut 12 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider enam bulan. Hal ini semakin menimbulkan tanda tanya publik mengenai vonis Harvey yang dinilai terlalu ringan meskipun kerugian negara jauh lebih besar.

Baca Juga  KPU Izinkan Masyarakat Ikut Nobar Debat Publik Pilkada Bontang dengan Catatan Patuhi Protokol Kesehatan

Dugaan Manipulasi Barang Bukti

Kritik lain muncul terkait barang bukti dalam kasus ini. Jaksa menyatakan barang bukti berupa dokumen transaksi bank telah dihadirkan. Harli Siregar menyebutkan hakim berhak melakukan sidang lapangan (descente) jika ada keraguan terhadap barang bukti yang disita.

Putusan ini menimbulkan gelombang ketidakpercayaan masyarakat terhadap independensi peradilan. Banyak pihak menilai hukum menjadi permainan bagi kalangan berkantong tebal, sementara rakyat kecil terus menghadapi ketidakadilan.

Kasus Harvey Moeis menjadi pengingat pahit bahwa hukum di Indonesia masih memiliki banyak celah yang dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu. Ketegasan Komisi Yudisial dan Badan Pengawasan MA diharapkan mampu mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap institusi peradilan.(*)

Penulis: Nicky
Editor: Willy

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Terkait

Back to top button