Fenomena “Gunung Es” di Balik Penangkapan Hakim di Balikpapan


Akurasi.id, Samarinda – Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap seorang hakim di Pengadilan Negeri (PN) Balikpapan menambah daftar hakim di Indonesia yang terjerat kasus tindak pidana korupsi. Hal ini layaknya fenomena gunung es di balik massifnya dugaan praktik suap yang melibatkan elit lembaga peradilan di Indonesia.
Padahal belum genap enam bulan negeri ini dihobohkan dengan penangkapan dua orang hakim PN Jakarta Selatan, Iswahyu Widodo dan Irwan. Dua hakim ini terlibat kasus suap kepengurusan kasus perdata. Tak tanggung-tanggung, KPK menyita uang Rp 150 juta dan 47.000 dollar Singapura yang diduga berkaitan dengan kasus suap.
Baca Juga : Rekam Jejak Oknum Hakim PN Balikpapan yang Terjaring OTT KPK
Dilansir Detiknews pada hari yang sama dengan penangkapan Iswahyu dan Irwan, Kamis (29/11/18), setidaknya terdapat 24 orang hakim dan mantan hakim yang pernah ditangkap KPK karena terlibat kasus suap. Berikut nama-namanya:
- RA Harini Wijoso (mantan hakim PT Yogyakarta)
- Syarifuddin Umar (hakim PN Jakarta Pusat)
- Ibrahim (hakim PTUN Jakarta)
- Imas Dianasari (hakim ad hoc Pengadilan Hubungan Industrial PN Bandung)
- Heru Kisbandono (hakim Pengadilan Tipikor Pontianak)
- Kartini Marpaung (hakim Tipikor Semarang)
- Setyabudi Tejocahyono (Wakil Ketua PN Bandung)
- Ramlan Comel (hakim ad hoc Pengadilan Tipikor Bandung)
- Pasti Serefina Sinaga (hakim tinggi pada Pengadilan Tinggi Bandung)
- Asmadinata (hakim PN Semarang)
- Pragsono (hakim PN Semarang)
- Akil Mochtar (hakim konstitusi/Ketua MK)
- Tripeni Irianto Putro (Ketua PTUN Medan)
- Amir Fauzi (hakim PTUN Medan)
- Dermawan Ginting (hakim PTUN Medan)
- Janner Purba (hakim Pengadilan Tipikor Bengkulu)
- Toton (hakim Pengadilan Tipikor Bengkulu)
- Patrialis Akbar (hakim konstitusi)
- Dewi Suryana (hakim PN Bengkulu)
- Sudiwardono (hakim PT Manado)
- Wahyu Widya Nurfitri (hakim PN Tangerang)
- Merry Purba (hakim ad hoc Tipikor Medan)
- Iswahyu Widodo (hakim PN Jaksel)
- Irwan (hakim PN Jaksel)
Dengan demikian, OTT terhadap Kayat pada Jumat (3/5/19) malam di Balikpapan menggenapkan angka 25 orang hakim yang terlibat kasus suap. Sebagai bagian dari penegak hukum terpenting di lembaga peradilan, hal ini dinilai sebagai ironi di tengah harapan yang tinggi dari masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia.
Tamparan bagi Kepolisian dan Kejaksaan

Pengamat hukum dari Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Herdiansyah Hamzah menyebut, penangkapan oknum hakim di PN Balikpapan menegaskan lemahnya kinerja aparat kepolisian dan kejaksaan di Kalimantan Timur (Kaltim).
“Kenapa mesti KPK yang melakukan OTT terhadap tindak pidana berupa suap di PN Balikpapan? Bukankah kita punya kejaksaan dan kepolisian? OTT KPK di PN Balikpapan mestinya dijadikan tamparan bagi penegak hukum di daerah. ‘Tamparan’ yang membuat mereka bekerja lebih efektif dan profesional menyelesaikan fenomena keluhan masyarakat,” katanya kepada Akurasi.id, Sabtu (4/5/19).
Padahal menurut dia, keluhan masyarakat terhadap fenomena suap di lembaga peradilan bukan kali pertama. Dia mencontohkan sulitnya seseorang berperkara di pengadilan, indikasi transaksi perkara, dan jual beli masa tahanan.
Hal itu mestinya dijadikan perhatian khusus bagi kejaksaan dan kepolisian di Kaltim. Pria yang karib disapa Castro itu berpendapat, penangkapan Kayat hanya fenomena gunung es yang mencerminkan indikasi kasus serupa di PN.
Karenanya, dia meminta aparat penegak hukum, baik KPK, kejaksaan, maupun kepolisian, agar memperluas upaya bersih-bersih terhadap seluruh hakim yang bertugas di sepuluh kabupaten/kota di Bumi Etam.
“Kasus OTT hakim yang ditangani KPK di Balikpapan itu hanya pintu masuk. Ekspektasi publik ini ‘kan, semua upaya yang masuk dalam kategori tindak korupsi, gratifikasi, dan perbuatan-perbuatan curang harus ditangani lebih jauh. Tidak hanya di PN Balikpapan. Tetapi juga semua daerah di Kaltim,” imbuhnya.
Upaya Pembenahan
Castro mengutip pendapat seorang mantan guru besar dari Universitas Hasanuddin Makassar, almarhum Ahmad Ali. Jika semua pihak ingin penegakan hukum yang bersih, maka penegak hukum harus dibersihkan dari segala tindakan menyimpang.
“Beliau mengibaratkan enggak mungkin kita membersihkan sesuatu dengan sapu yang kotor. Sama juga dengan lingkup peradilan. Kalau kita ingin menegakkan hukum dengan sebaik-baiknya, dengan sehormat-hormatnya, maka kita harus membenahi penegak hukum,” sarannya.
Dia menegaskan, OTT terhadap hakim di PN Balikpapan membuktikan masih ada mafia yang “mengotori” lembaga peradilan. Meski oknum-oknum tersebut tidak terlihat secara kasat mata, tetapi mereka berusaha mendominasi dan memainkan proses peradilan sebagai ladang bisnis.
Dibutuhkan lingkup peradilan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) untuk membenahi proses penegakan hukum di Indonesia. Caranya, hakim harus diberikan batasan saat berinteraksi dengan orang-orang yang berperkara di pengadilan.
“Suap di PN Balikpapan itu membuktikan ada komunikasi antara hakim dan orang-orang yang berperkara di pengadilan. Sebenarnya secara prinsip asas hukum dalam peradilan, hakim tidak boleh bertemu dengan orang yang berperkara di pengadilan. Itu mengurangi independensi hakim. Apalagi terjadi jual beli perkara. Itu membuktikan ada komunikasi yang intens,” jelasnya.
Di beberapa negara di dunia, hakim benar-benar dipisahkan dari “komunikasi sosial”. Meski hakim tetap diperbolehkan berinteraksi dengan keluarganya, tetapi ia dibatasi dalam komunikasi yang dapat memengaruhi putusan di pengadilan.
“Kemudian dalam pengawasan, kita juga masih sangat lemah. Kita berharap upaya pengawasan tidak hanya dilakukan di lembaga peradilan. Kinerja pengawasan Komisi Yudisial dan lembaga pemantau peradilan di NGO (non-governmental organization) juga perlu dimaksimalkan. Bentuk pengawasan di internal dan eksternal mesti diperkuat,” imbuhnya.
Solusi yang tak kalah penting untuk memperbaiki kinerja lembaga peradilan adalah rekrutmen dan penempatan hakim. Secara umum, hal itu berkaitan dengan manajemen lembaga peradilan.
“Karena itu ada korelasinya dengan hakim. Pola hubungan, membatasi interaksi hakim dengan orang-orang yang berperkara, pengawasan, kode etik, itu perlu diberbaiki,” ucapnya.
Upaya lain untuk memperbaiki lembaga peradilan dapat dilakukan dengan menjatuhkan hukuman berat kepada hakim atau penegak hukum lainnya yang terlibat kasus korupsi. Temuan Indonesia Corruption Watch (ICW) membuktikan, vonis terhadap aparat hukum yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi masih tergolong ringan.
“Idealnya [hakim yang terlibat kasus korupsi harus] dihukum seberat-beratnya. Sebagaimana ketentuan pidana pasal 12 huruf c Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Maksimal hukumannya 20 tahun. Hakim itu mestinya memiliki tingkat hukuman dua kali lebih berat dari mereka yang di luar institusi kehakiman. Karena benteng terakhir hukum itu adalah hakim. Kalau hakimnya sudah melakukan tindakan tercela lewat tindak pidana korupsi, semestinya tidak hanya pemecatan, tetapi juga vonis hukum yang berat agar ada pelajaran,” tutup Castro. (*)
Penulis: Ufqil Mubin
Editor: Ufqil Mubin