
Akurasi.id – Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) menghadirkan sistem gotong-royong dalam pelayanan kesehatan. Sejak diresmikan pada 2014 lalu, BPJS Kesehatan sebagai pengawal eksistensi JKN-KIS justru terseok-seok.
Defisit jadi penyakit menahun karena lubang pembiayaan lebih besar dari iuran yang terkumpul. Subsidi jor-joran pemerintah pusat mencapai Rp 5,2 triliun jadi satu-satunya dana talangan pada 2018. Sementara di skala nasional, BPJS Kesehatan menangguk utang hingga Rp 9,7 triliun pada 2018, dengan prediksi defisit melejit jadi Rp 16,5 triliun tahun ini.
Peraturan Presiden (Perpres) 82/2018 pada 18 September 2018 menjadi oase demi mengurai penyakit menahun yang tak kunjung memberi waras. Kendati begitu, pola gotong royong pun menjadi tebang pilih karena perpres itu.
“Memang tak bisa dipaksakan. Karena dibeberapa kasus, ada juga aturan yang melingkupi permasalahan kesehatan lain,” ucap Octovianus Ramba, kepala BPJS Kesehatan cabang Samarinda, Senin (7/1).
Menukil beleid, lewat Pasal 52, terdapat 21 pembiayaan kesehatan yang kini tak lagi ditanggung penyelenggara, antara lain cedera kecelakaan kerja, lakalantas, dan pelayanan dampak bencana pada masa tanggap darurat.
“Kecelakaan kerja sudah dituangkan dalam UU Ketenagakerjaan. Begitu pula dampak bencana ada dalam UU Penanggulangan Bencana,” sebut dia.
Menurut okto, selama ini, BPJS Kesehatan memang menghandel penuh urusan kesehatan yang ditangani setiap fasilitas kesehatan tingkat lanjutan (FKTL). Tapi, berkat aturan anyar itu, mereka bisa memilah urgensi penggunaan dana gotong-royong peserta BPJS Kesehatan, dari penerima bantuan iuran (PBI) hingga non-PBI.
Meski enggan membeber data. Samarinda pun, aku Okto, tak luput dari utang yang menunggak. “Karena nilainya fluktuatif dan berubah setiap bulannya. Belum lagi baru-baru ini ada rumah sakit yang tak lagi bekerja sama pembiayaan,” tukasnya.
Selain menyiangi jeroan yang selama ini mengendap, Perpres 82/2018 turut menghadirkan kemudahan bagi peserta sistem gotong royong ini. Seperti WNI yang menetap lama di luar negeri bisa membekukan kepesertaannya paling lama enam bulan dan bisa diperpanjang.
Begitu pula, pendaftaran bayi yang baru lahir salah satu masalah kepesertaan yang disempurnakan dalam beleid tersebut. Ihwal ini sempat viral lantaran adanya kebijakan mendaftarkan bayi yang masih dikandung sang ibu.
Tapi dalam Perpres 82/2018 ini, sambung Okto, didaftarkan setelah si bayi dilahirkan, paling lambat 28 hari. “Mulai diterapkan Desember lalu. Untuk bayi dari keluarga peserta PBI (Penerima Bantuan Iuran) otomatis status kepesertaannya mengikuti orang tuanya,” tuturnya.
Lalu, tunggakan iuran. Sejak 18 Desember 2018 lalu, jika peserta JKN-KIS tak melakukan pembayaran iuran rutin otomatis kepesertaannya dibekukan. Untuk mengaktifkannya kembali, peserta, tutur pria berkacamata ini, harus membayar iuran bulan tertunggak paling banyak untuk 24 bulan. “Sebelumnya kan hanya 12 bulan. Kini lebih ketat jadi 24 bulan,” ucapnya.
Dari upaya-upaya yang terus direvisi itu BPJS Kesehatan pun bisa menyiasati agar gelontoran dana tepat sasaran. Tentu dengan gotong royong yang benar-benar tepat sasaran. (*)
Penulis: Abi Arya
Editor: Yusuf Arafah