Vonis 7 Tahun Eks Bupati Kutai Timur Ismunandar dan Istri Dinilai Terlalu Ringan, Pencabutan Hak Politik Dianggap Singkat

![]()

Vonis 7 tahun eks Bupati Kutai Timur Ismunandar dan istri dinilai terlalu ringan, pencabutan hak politik dianggap singkat. Dalam perkara itu, hakim mewajibkan eks Bupati Kutai Timur Ismunandar dan istri membayar uang pengganti Rp27,4 miliar dan 629 juta.
Akurasi.id, Kutai Timur – Tim Jaksa Eksekusi KPK menjebloskan eks Bupati Kutai Timur Ismunandar dan eks Ketua DPRD Kutai Timur Encek Unguria Riarinda Firgasih ke penjara, Kamis, 26 Agustus 2021. Pasangan suami istri itu dijebloskan ke penjara dalam rangka eksekusi putusan Pengadilan Tipikor Samarinda yang menyatakan keduanya terbukti bersalah melakukan korupsi.
Ismunandar juga diwajibkan membayar denda sebesar Rp500 juta subsider 6 bulan tahanan. Selain pidana pokok, hakim juga mewajibkan Ismunandar membayar uang pengganti Rp27,4 miliar sebulan setelah putusan inkrah dan pencabutan hak politik selama 5 tahun.
Sementara istrinya, Encek dimasukkan ke Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Tangerang untuk menjalani pidana penjara selama 6 tahun. Dia juga dihukum membayar denda Rp300 juta subsider 5 bulan kurungan. Sementara pidana tambahan berupa uang pengganti Rp629 juta dan pencabutan hak politik selama 5 tahun setelah menjalani hukuman.
Terkait hal itu, Pengamat Hukum dari Unmul Samarinda, Herdiansyah Hamzah mengatakan, vonis hukuman yang diterima mantan Bupati Kutai Timur dan istrinya itu terbilang sangat rendah. Seyogiayanya hukuman yang pantas diberikan pada seorang maling tersebut haruslah lebih tinggi. Apalagi melihat posisi Ismunandar sebagai pejabat yang diberikan amanah oleh rakyat.
“Semestinya, maling itu tidak diberi ampun. Harus diberi hukuman maksimal. Untuk sekelas perampok uang rakyat, diberikan hukuman sekecil itu, bagi saya sangat tidak memuaskan,” ucap pria yang akrab disapa Castro ini.
Menurutnya, bagi seseorang yang sudah diberikan mandat oleh rakyat, namun menyia-nyiakannya dengan perbuatan korupsi, hukuman yang pantas diberikan harusnya lebih dari 10 tahun. “Seharusnya dihukum maksimal 20 tahun. Atau bahkan seumur hidup. Agar memberi efek jera,” tegasnya.
Pun berkaitan dengan vonis denda yang diberikan pada keduanya, menurut Castro, itu masih terbilang sangat minim. Jika dibandingkan dengan perbuatan korupsinya. “Vonis hukuman maupun vonis denda yang diberikan, itu sangat minim untuk sekelas maling,” ujarnya.
Dia juga berpendapat, hal-hal yang semestinya dibenahi ialah budaya politik dinasti. Pasalnya, politik dinasti itu akan membuka ruang untuk praktik tindak pidana korupsi di dalam pemerintahan.
“Memang di dalam undang-undang tidak ada larangan untuk politik dinasti. Tapi, jika melihat praktik yang terjadi di beberapa daerah. Justru hal tersebut lah yang jadi pemicu tindak pidana korupsi,” jelasnya.
Menurut dia, jika pendekatan politik dinasti masih dikedepankan, maka ruang untuk tindak pidana korupsi akan jauh lebih besar. Seharusnya, jabatan strategis dalam tubuh pemerintahan tidak boleh diisi sanak keluarga.
“Kalau hal itu terjadi, akan ada konflik kepentingan. Masa iya, anggaran dibahas di dalam kamar. Kan lucu jadinya,” tuturnya.
Selain itu, proses seleksi untuk pejabat-pejabat di tingkat SKPD atau OPD juga semestinya dibenahi. Jangan sampai, menempatkan orang-orang yang masih memiliki hubungan keluarga. “Kepala OPD itu juga seharusnya di seleksi dengan baik. Jangan sampai memberi ruang untuk praktik korupsi,” jelasnya.
Sementara itu, berkaitan dengan pencabutan hak politik selama 5 tahun, Pengamat Politik Universitas Mulawarman (Unmul), Budiman Chosiah mengatakan hal tersebut sangat tidak pantas. Seyogianya, ada efek jera yang diberikan kepada para pelaku tindak pidana korupsi. Sehingga, orang-orang tidak mencontoh tindakan tersebut.
“Korupsi itu kan persoalan yang luar biasa. Harusnya ada efek jera yang diberikan. Agar orang lain juga takut untuk melakukan tindakan serupa,”ujar Budiman Chosiah.
Menurutnya, pencabutan hak politik kepada pelaku sudah tepat. Kendati demikian, durasi 5 tahun tersebut masih terbilang sangat minim. Pasalnya, korupsi yang dilakukan secara berjemaah itu memiliki daya rusak yang sangat besar. Dampak terbesarnya sudah pasti dirasakan masyarakat.
“Imbas dari kasus ini pastinya berdampak ke masyarakat. Seharusnya hak politiknya dicabut seumur hidup,” ucapnya. (*)
Penulis: Fajri Sunaryo
Editor: Redaksi Akurasi.id









