Ambulans, Akreditasi dan Mobil Jenazah


Ditulis Oleh: Uce Prasetyo
6 September 2019
Beberapa waktu lalu. Heboh, seseorang menggendong jenazah keluarganya. Karena petugas Puskesmas tidak mengizinkan ambulans-nya untuk mengantar jenazah. Alasannya adalah SOP (standar operasional prosedur) mereka begitu. Bahwa kendaraan gawat darurat itu hanya untuk kegawatan.
Setelah kejadian itu. Banyak netizen menyalahkan petugas Puskesmas. Petugas Puskesmas dinilai tidak berperikemanusiaan. Atas kejadian itu, wali kota Tangerang memberi sanksi kepada petugas Puskesmas yang menolak itu. Bila ada sanksi, berarti petugasnya dinyatakan bersalah. Benarkah petugasnya bersalah?
Sekitar 1995, saat pertama kali praktik (belajar) di RSUD dan Puskesmas. Zaman itu, ambulans dan mobil umumnya masih bisa dihitung jari. Ambulans Puskesmas dulu, multifungsi. Untuk apa saja. Transportasi kegawatan, posyandu, mengantar jenazah, antar jemput dokter/pegawai rapat, dan sebagainya. Maklum, cuma satu satunya.
Lambat laun. Zaman berubah. Teknologi berkembang. Ekonomi masyarakat meningkat. Harga otomatif terjangkau. Kredit bank makin mudah. Sehingga, semua keluarga, hampir semua punya motor. Dan juga sudah banyak punya mobil. Ambulans pun makin banyak. Bahkan di Jawa, setiap desa banyak yang punya mobil ambulans atau sejenis itu.
Pada 2000-an, menteri Kesehatan membuat aturan. Standar kendaraan pelayanan medis ada 6 jenis, yaitu ambulans transportasi, ambulans gawat darurat, ambulans RS lapangan, ambulans pelayanan medis bergerak, ambulans udara dan kereta jenazah. Masing masing punya standar dan kegunaan sendiri.
Mengapa ada perbedaan ambulans gawat darurat dan mobil jenazah?
Ambulans gawat darurat. Sesuai namanya adalah fokus untuk transportasi pasien gawat darurat. Apa itu pasien gawat darurat? Adalah pasien yang perlu penanganan segera, karena terancam nyawanya atau bisa timbul kecacatan.
Kecelakaan dan penyakit yang gawat. Bisa terjadi di mana saja dan kapan saja. Masyarakat tentu berharap. Bila terjadi kegawatan yang mengancam nyawa, petugas dan kendaraan medis bisa datang secepat mungkin. Untuk itu ambulans, alat dan petugasnya harus waspada. Harus standby. Setiap waktu. 24 jam sehari. Itulah standar aturan main. Petugas dan kendaraan gawat darurat.
Walau aturan menteri sudah ada sejak 2001. Namun tak semua, RS, puskesmas, dan klinik menerapkan dengan disiplin atas aturan itu. Klinik dunia tambang/perusahaan besar saja yang baru menerapkan dengan ketat aturan itu.
Sejak 2015 pemerintah mengetatkan pengawasan dan meningkatkan standar pelayanan dunia medis. Dengan mewajibkan akreditasi. Baik di RS dan Puskesmas. Sebentar lagi juga klinik. Hal utama akreditasi adalah harus ada SOP. Salah satu SOP kegawatan adalah ambulans gawat darurat itu bukan berfungsi sebagai mobil jenazah.
Ambulans untuk transportasi orang agar nyawanya selamat. Sedangkan mobil jenazah untuk mengangkut orang yang sudah tidak bernyawa. Untuk di daerah perkotaan, seperti Tangerang atau kota lainnya. Sepatutnya, perbedaan fungsi itu sudah bisa diterapkan. Untuk di daerah pedalaman (desa/kecamatan) di Kalimantan, konsep ini memang belum bisa diterapkan. Karena minimnya fasilitas mobil jenazah.
Sejak ketatnya akreditasi, maka penerapan fungsi ambulans gawat darurat dan mobil jenazah mulai juga di terapkan. Mulai didisiplinkan dan disosialisasikan.
Bagaimana bila ambulans juga antar jenazah? Sepatutnya, keluarga/petugas medisnya mencarikan mobil jenazah. Atau dicarikan ambulans milik ormas/paguyuban/kerukunan. Karena ambulans mereka memang multifungsi.
Dalam hal telah dicarikan, kendaraan lain dan tak ada alternatif. Bila ambulans lebih dari satu, masih bisa dimungkinkan. Atau bila jenazahnya bayi atau anak, dan jarak tempuh relatif dekat. Memakai mobil pribadi, masih mungkin dilakukan. Problemnya adalah dari dulu hingga sekarang, saya sering menemui, masyarakat banyak berpandangan kalau mobil yang dipakai membawa jenazah, mobilnya jadi “sial”. Ini pandangan tentu perlu diubah.
Bagaimana keluarga/masyarakat tetap meminta ambulans juga untuk mobil jenazah? Maka otomatis, bila ada kegawatan, pasien yang terancam nyawanya. Tidak bisa dilayani dengan optimal.
Bila tidak standby. Misalnya ambulansnya dipakai antar orang sehat atau antar orang yang sudah meninggal. Maka bila ada kejadian kegawatan pada pasien. Otomatis, pasien yang gawat itu, tidak tertolong dengan cepat. Dan bisa jadi akan menyusul jadi jenazah juga.
Adat tentang perbedaan ambulans dan mobil jenazah adalah adat baru. Tujuannya untuk kebaikan masyarakat juga. Perlu pemahaman dan disosialisasikan ke masyarakat.
Sederhananya, konsep ambulans gawat darurat, sama dengan mobil pemadam kebakaran. Yang harus ada, untuk jaga-jaga, merespons tugas secepatnya, tapi berharap tidak terpakai. Makin tidak terpakai, berarti sukses. Sukses tidak ada kebakaran atau kecelakaan atau kegawatan.
Pemadam kebakaran karena bentuk fisiknya. Dari dulu hingga sekarang, sudah sesuai konsep. Hanya standby. Ambulans, sejak dulu belum sesuai konsep. Masih sering dipakai macam-macam. Bukan semata untuk berjaga-jaga bila ada kegawatan. Sekarang, mau diperbaiki, sebagaimana konsep atau tujuan ambulans. Konsep sekarang, bukan tentang bagaimana biasanya? Tapi tentang bagaimana konsep sebaiknya. (*)
Editor: Yusuf Arafah
Sekilah: Bagi masyarakat Kutim, khususnya Sangatta, nama Uce Prasetyo bukalah jenawa yang asing. Dia adalah salah satu anggota DPRD Kutim yang mengawali karir politik lewat Partai PPP. Dia pertama kali duduk sebagai wakil rakyat pada 2014 lalu.
Pada pemilihan legislatif (pileg) serentak 2019, Uce –sapaannya- kembali terpilih sebagai wakil rakyat untuk masa pengabdian 2019-2024 melalui Partai PPP. Saat ini, Uce dipercayakan sebagai ketua sementara DPRD Kutim. Sebelum terjun di dunia politik, Uce karib dikenal sebagai seorang tenaga medis di salah satu rumah sakit di Sangatta.