Catatan

Autobiografi Andri (4): Derita dan Air Mata Sebelum Belajar di Gontor

Loading

Autobiografi Andri (4): Derita dan Air Mata Sebelum Belajar di Gontor
Inilah gerbang memasuki Pondok Modern Darussalam Gontor Ponogoro. Jutaan orang pernah hilir mudik di gerbang ini. Mengunjungi sanak famili atau mengenyam pendidikan di pesantren ini. (Istimewa)

Setelah saya mendapat informasi dari Aikokom, muncul asa yang begitu besar untuk mengenyam pendidikan di Gontor. Motor Supra X keluaran tahun 2006 ini dapat menjadi penebus biaya pendaftaranku di pesantren tersebut. Saya berusaha keras memutar pikiran. Di gubuk berlantai tanah ini, semalam suntuk saya memikirkan siapa yang dapat membeli kendaraan roda dua itu. Tak ada satu pun orang yang terlintas dalam benakku.

Baca Juga: Autobiografi Andri (3): Pilihan yang Berat

Keesokan hari, saya mengelilingi kampung Ciranini. Ketika matahari secara perlahan menuju peraduannya, tiba-tiba saya teringat kepala sekolah saya di MAN Wangunsari, Pak Ishak. Barangkali beliau dapat membeli motor tersebut. Demikian kata-kata yang terlintas dalam sanubariku. Saya tak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu. Saya mendatanginya di rumahnya yang tak jauh dari tempat tinggalku.

Kebetulan beliau ada di rumahnya. Setelah berbincang dengannya, saya mengutarakan maksudku menemuinya. Sebelum saya menawarkan satu unit motor, saya menyampaikan keinginanku mengenyam pendidikan di Gontor. Hanya saja keinginan itu terhalang karena saya tidak memiliki uang. Singkatnya, saya membutuhkan bantuannya.

Jasa SMK3 dan ISO

“Saya hanya punya motor ini. Bahasa kasarnya, kalau Bapak membeli motor ini, saya akan ke Gontor. Kalau Bapak tidak membeli motor ini, maka saya tidak akan ke Gontor,” demikian saya berujar kepada Pak Ishak.

Mendengar kalimatku, dia terlihat bingung. Kemudian beliau bertanya, “Memang Andri sudah coba minta bantuan keluarga?”

“Sudah, Pak. Saya sudah coba sana sini. Semuanya enggak bisa bantu. Mereka enggak punya uang, Pak,” jawabku.

“Bapak bukannya enggak mau bantu. Bapak mau bantu kamu. Tapi Bapak punya anak yang lagi hamil. Dia hamil sembilan bulan. Sekarang dia mau operasi caesar. Dia butuh uang Rp 10 juta,” ujar Pak Ishak.

Tak jauh dari tempat duduk kami, terdapat seorang perempuan yang sedang hamil tua. Itulah anak Pak Ishak. Saya pasrah. Saya menyampaikan permohonan maaf kepadanya karena sudah lancang meminta bantuannya.

“Sementara ini kamu pulang saja dulu. Seminggu lagi, kalau memang kamu enggak punya uang, balik lagi ke saya. Saya enggak janjikan. Tapi saya akan usahakan,” ucapnya.

Baca Juga  Autobiografi Andri (2): Tak Direstui Ayah

Seketika muncul rasa senang dalam batinku. Saya pulang ke rumah sambil menanam harapan yang beradu dengan rasa was-was. Kepasrahan yang bercampur rasa putus asa menyelimutiku. Pak Ishak membawa harapan terakhirku untuk mengenyam pendidikan di Gontor.

***

Sepulang dari rumah Pak Ishak, saya ditawarkan ustaz Uu Abdusyakir untuk melanjutkan pendidikan di Pondok Pesantren Manungjaya Miftahul Huda Tasikmalaya. Beliau berpendapat, biaya di pondok pesantren tersebut sesuai dengan kemampuan keuangan keluarga kami.

Seorang tetangga saya memberikan pendapat serupa. Saya diminta menyesuaikan mimpi dengan perekonomian keluarga kami. Katanya, “Kasihan ayah dan ibumu kalau kamu memaksakan pergi ke Gontor. Mereka harus menanggung biaya yang tidak terjangkau.”

Mendengar kalimat beliau, ada rasa putus asa yang menghinggapiku.

Seorang guru saya di SD ikut berkomentar, “Kalau kamu mau ke Gontor, ya silakan. Tapi kamu sesuaikan dengan ekonomi keluarga. Lebih baik kamu usaha dulu. Ngumpulin uang. Baru kamu ke Gontor.”

Saudara ibuku berpendapat serupa, “Daripada kamu ke Gontor, lebih baik kamu ke Sumatra. Menemani Yanto bekerja di sana.” Yanto adalah sepupu saya. Ibunya saudara kandung ibuku.

Kalimat-kalimat bertubi itu membuatku menimbang ulang keinginan untuk menimba ilmu di pesantren yang terletak di Ponorogo itu.

Empat hari setelah saya bertemu dengan Pak Ishak, saya memberitahu ayah perihal usaha saya menjual motornya. Saya berpikir, lebih baik berterus terang kepadanya. Saya mengatakan kepada ayah, motor itu akan dibeli Pak Ishak.

Setelah beliau mendengar ucapanku, ayah terdiam. Raut wajahnya memperlihatkan kebingungan dan empati. Mungkin beliau merasa iba melihat saya yang hilir mudik mengelilingi kampung. Sudah berhari-hari saya membawa motornya. Sebelumnya, saya tak pernah membicarakan usaha saya menjual motornya.

Dengan raut wajah yang sedikit memerah, ayahku mengatakan, “Ya udah. Jual aja motornya.”

***

Seminggu berlalu. Saya dan ibu mendatangi rumah Pak Ishak. Di rumah itu kami menemui istrinya. Ternyata Pak Ishak sedang di kebunnya. Tak ingin menunggu lama, kami mendatanginya di kebun. Sesampai di kebun, kami melihatnya sedang tertidur pulas di sebuah gubuk. Saya dan ibu mendekatinya secara perlahan.

Beberapa meter sebelum kami memasuki gubuk itu, beliau terbangun dari tidurnya. Pak Ishak mengusap matanya. Lalu mempersilakan kami duduk. Saya mengutarakan niat kami menjual motor kepadanya.

Baca Juga  Pancasila Memperkokoh Peradaban Bangsa

Beliau memintaku menunggunya. Beberapa menit berlalu, dia kembali ke gubuk tersebut. Saya melihatnya membawa sebuah bingkisan plastik berwarna hitam.

Pak Ishak merangkul tangan saya. Beliau berkata, “Kamu ada rezekinya. Ini ada uang Rp 5.020.000. Silakan kamu daftar ke Gontor. Bapak hanya bisa mendoakan. Semoga kamu mendapat ilmu yang bermanfaat dan meraih apa yang kamu cita-citakan. Soal uang, jangan dipikirkan. Itu urusan Allah. Rezeki itu urusan Allah. Di mana ada kemauan, di situ ada jalan.”

Saya tertunduk. Bulir-bulir air mata jatuh di kelopak mataku. Ibu saya juga ikut menangis. Beberapa menit kemudian, saya berkata, “Pak. Ini kuncinya. Silakan diambil motornya.”

“Loh. Kamu masih butuh motornya?” beliau balik bertanya.

“Motornya sih masih dipakai, Pak.”

“Enggak apa-apa. Pakai aja. Nanti kalau kamu punya uang, silakan dikembalikan. Enggak usah sekarang.”

Mendengar jawaban beliau, saya tersenyum bahagia. Saya kembali ke rumah dengan asa yang begitu besar. Keinginan saya menimba ilmu di Gontor tinggal selangkah lagi.

***

Uang pendaftaran saya di Gontor sudah terkumpul. Tetapi saya belum memegang uang sepeser pun untuk transportasi dan bekal menetap di pesantren tersebut. Saya mendatangi ibu untuk meminta bantuannya. Beliau terlihat menangis tersedu di kamar mandi yang tak jauh dari rumah kami. Saya tidak berani mendekatinya.

Saya bertanya keadaan ibu kepada Elin. Adik saya. Dia menjawab, “Ibu itu bingung lihat Aa setiap hari mondar-mandir enggak jelas pakai motor. Ibu kasihan sama Aa. Beberapa hari ini kok Aa terlihat aneh. Ibu sedih karena enggak bisa bantu Aa yang mau ke Gontor.”

Meski begitu, semangat ibu tak pernah patah. Keesokan hari, ibu meminta saya mendatangi Kampung Babakan. Saya diminta menemui bibi Eju. Saya tak bertanya alasan ibu menyuruhku. Saya hanya mengikutinya. Menjelang sore, saya bertemu perempuan tersebut.

Ketika saya bertatap muka dengannya, beliau berkata, “Kemarin ibu kamu datang ke sini. Minta bantuan. Tapi saya enggak punya uang. Saya hanya punya cincin. Ini bisa dijual untuk keperluanmu ke Gontor.”

Singkat cerita, kami menjual cincin tersebut di Toko Simpang. Emas itu terjual dengan harga Rp 600 ribu. Saya menyerahkan uang itu ke bibi Eju. Saya diberikan Rp 500 ribu. Sisanya diambil bibi Eju.

Baca Juga  Autobiografi Andri (3): Pilihan yang Berat

***

Besok pagi, saya akan berangkat ke Gontor. Setelah isya, saya mengikuti pengajian. Sepulang dari majelis, ayah sudah menunggu saya di rumah. Setelah mengajak saya duduk, beliau bertanya, “Benar kamu akan ke Gontor? Kamu tidak pikir kondisi keluarga kita?”

Dua pertanyaan itu membuat tubuhku lemas. Semua bekal telah kusiapkan. Tetapi saya tak kunjung mendapatkan rida dari ayah.

“Kamu tahu jalan ke Gontor? Berapa uang yang akan kamu habiskan di sana? Kamu tahu? Oke. Silakan kamu belajar di Gontor. Jangan harap ayah membiayai kamu,” tegas ayahku.

Tiba-tiba ibu berteriak, “Andri. Silakan kamu ke Gontor. Ibu yang akan membiayai kamu di sana.”

“Ya udah. Berangkat saja sana. Ayah sama ibu akan pisah,” jawab ayahku.

Kebetulan waktu itu ada ustaz Yosep. Guru saya di MAN Wangunsari. Beliau berusaha menenangkan kedua orang tua saya.

“Bapak. Kita lihat keinginan Andri. Silakan diberikan kesempatan untuk belajar di sana. Kalau tidak mampu, enggak apa-apa dia pulang lagi. Berapa pun besaran uang yang dikeluarkan, nanti Andri yang akan berusaha menggantinya,” ucap ustaz Yosep.

Ibu merangkul saya. Ayah saya terdiam.

Semalam suntuk saya merasa bimbang. Saya berniat mengurungkan niat belajar di Gontor. Tetapi saya berpikir ulang. Orang-orang di kampung sudah mengetahui saya telah membulatkan tekat ke Gontor. Saya telah menjabat tangan para tetangga. Sebagian besar warga mendukung saya menimba ilmu di pesantren tersebut. Mereka bahu-membahu memberikan uang. Dari warga, saya diberikan uang Rp 1 juta.

Batin saya bercampur antara sedih dan bahagia. Di pagi buta, saya berangkat ke Gontor. Meninggalkan seluruh jejak langkah yang begitu pahit.

Sampai kini, setelah empat setengah tahun belajar di Gontor, menjadi guru baru, kenangan itu masih tersimpan rapi dalam benakku. (*)

Penulis/Editor: Ufqil Mubin

Catatan:

  1. Artikel yang memuat autobiorafi ini akan terbit secara berkala.
  2. Artikel ini ditulis ulang, diedit, dan disunting oleh Ufqil Mubin. Bahan artikel ini sepenuhnya dari hasil wawancara dengan ustaz Andri. Seorang lulusan Gontor yang kini menjadi guru di pesantren yang terletak di Ponorogo, Jawa Timur.

 

4 Comments

  1. Assalamu’alaikum wr wb….maaf ustadz…ijin copas…untuk aku bagikan…karena ini cerita menginspirasi penuh hikmah yang mengharukan …??

  2. Masyaa Alloh masyaa Alloh.. Astagfirullah aladzim ya Rabbana, lalu nikmat mana lagi yang kudustakan, astagfirullah aladzim.. Semoga cerita nak Andri menjadi inspirasi bagi anak anak Indonesia (khususshon para santri), dgn berbagai rintangan, bahwa keinginan yg baik, mesti diperjuangkan dengan sungguh2, manjadda wajada,

    Untuk nak Andri, semoga Alloh memberikan rahmah, barokah, sukses di dunia dan akhirat, pulang dg membawa kesukaan buat ibu/bpk, keluarga dan membanggakan gontor dan islam
    Aamiin ya mujibas sailiin..

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Terkait

Back to top button