HMI Mengecam Tindakan Represif Aparat


Ditulis Oleh: Mursid Mubarak
14 Februari 2019
Sudah 20 tahun kita meninggalkan orde baru dan merintis jalan demokrasi. Apakah selama ini kita telah membangun tatanan demokarsi yang baik? Ternyata kita belum dapat menjawabnya dengan “ya” secara bangga. Demokrasi masih sekedar lips service yang tak jarang lebih manis daripada gula.
Dalam kenyataannya, tindakan represif aparat yang menjadi salah satu ciri orde baru terhadap penyampai aspirasi, ternyata terulang kembali. Hal itu terbukti saat aksi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), dan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) di Balikpapan dalam rangka mengevaluasi kinerja pemerintah pada perayaan Hari Ulang Tahun Balikapapan ke-122.
Kekerasan itu berakhir dengan tumbangnya 13 mahasiswa. Korban “kekejaman” aparat itu memerlukan perawatan medis. Tentu saja, ini semakin mencederai demokrasi yang sudah susah payah diperoleh dengan darah dan air mata. Karenanya, tidak berlebihan jika muncul kesan “darurat demokrasi” di bangsa ini.
Kejadian yang sama terjadi pada September 2018 lalu. Banyak mahasiswa yang terluka di beberapa daerah di Indonesia. Penyebabnya, konfrontasi mahasiswa dengan aparat. Lalu, muncul beragam kecaman dari berbagai pihak. Ada pula aksi-aksi solidaritas dari mahasiswa di sebagian besar daerah di Indonesia. Mereka menolak tindakan represif aparat dan menuntut pimpinan kepolisian melakukan pembenahan di internal Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Seharusnya kejadian tersebut sudah cukup dijadikan bahan evaluasi bagi kepolisian agar segera melakukan pembenahan-pembenahan dalam mengamankan aksi mahasiswa.
Karena hak menyampaikan pendapat dilindungi Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pada pasal 28 e ayat 3 yang berbunyi, “Setiap orang memiliki hak untuk berserikat, meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.” Selanjutnya aturan itu dijabarkan dalam Undang-Undang nomor 9 tahun 1998 tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Secara teknis, Peraturan Kapolri nomor 16 tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa, tidak mengenal kondisi khusus untuk dijadikan alasan bagi aparat melakukan tindakan represif. Bahkan tindakan yang lebih ringan dari kontak fisik seperti mengucapkan kata-kata kotor, pelecehan seksual atau memaki pengunjuk rasa, dilarang dalam peraturan itu. Karenanya, sudah jelas bahwa segala bentuk kekerasan dalam proses penyampaian pendapat tidak dibenarkan.
Maka dari itu, kami dari HMI Cabang Kutai Kartanegara mengecam tindakan aparat kepolisian di Balikpapan dan meminta Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Kaltim mengusut persoalan ini. Jika terbukti, kami meminta pihak-pihak yang terlibat diberikan sanksi tegas.
Karena pada dasarnya, mahasiswa hanya menjalankan peran dan tanggung jawab sebagai agent of change, agent of social control, agent of moral force, atau iron stock. Visi yang sering disematkan dalam diri mahasiswa. Hal itu tidak terlalu berlebihan. Mengingat mahasiswa tergolong kelompok masyarakat terdidik dan terbebas dari kepentingan apapun yang bersifat pragmatis. Dalam menyoroti segala persoalan di masyarakat, mahasiswa menduduki posisi yang paling tepat.
Doktrin ini yang memenuhi akal sehat mahasiswa. Tidak heran jika kita banyak menemukan aktivis mahasiswa, sangat berperan dalam pembangunan bangsa ini. Salah satunya memberikan kontrol terhadap kebijakan dan program pemerintah.
Jika ditilik dari sejarah bangsa Indonesia, mahasiswa memainkan peran dalam arus perubahan bangsa ini. Mulai 1908 ketika pembentukan organisasi yang Boedi Oetomo sebagai cikal bakal lahirnya perkumpulan pemuda yang intelek. Seiring semakin terkonsolidasinya gerakan kelompok tersebut, berlanjut pada 1928, berkumpul pemuda dan mahasiswa nusantara yang melakukan Kongres Pemuda II yang melahirkan Sumpah Pemuda.
Dalam sejarah revolusi Indonesia, peran mahasiswa tidak dapat dikesampingkan. Saat itu, mereka “menculik” Bung Soekarno agar segera memproklamirkan kemerdekaan bangsa ini. Setelahnya, lahir negara yang kita namai Indonesia.
Gerakan-gerakan itu terus tumbuh di kalangan mahasiswa. Pun demikian ketika bangsa ini memasuki era yang kontra demokratis. Hal ini menjadi tantangan terberat bagi mahasiswa sekaligaus menyisakan sisa-sisa sejarah kelam dalam sejarah pergerakan mahasiswa. Selama 32 tahun rezim orde baru, selama itu pula kehidupan dan pikiran mahasiswa tidak dapat tumbuh secara bebas.
Segala upaya dilakukan mahasiswa untuk terus melakukan kontrol terhadap penguasa. Upaya rezim untuk terus membungkam suara-suara kritis dilakukan dengan munculnya larangan terhadap kelompok pemuda ini untuk mengurus persoalan politik.
Kebijakan itu diperkuat dengan Normalisasasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus (NKK/BKK). Upaya pembungkaman suara mahasiswa terus berlanjut. Tak sedikit mahasiswa yang dipenjara dan dihilangkan.
Puncak gerakan mahahasiswa terjadi pada 1998. Ditandai dengan tumbangnya rezim orde baru yang juga menandakan awal terbukanya keran demokrtisasi di negeri ini.
Begitu terjal jalan yang harus dilalui. Begitu mahal harga yang harus dibayar dan begitu banyak darah yang harus mengalir untuk kesempurnaan “demokrasi” bangsa ini.
Kita sudah jauh meninggalkan rezim orde baru yang mengekang hak berbendapat. Kita telah memasuki era reformasi dengan sistem yang lebih demokratis. Maka demokrasi yang sehat adalah ketika rakyat dapat menyampaikan aspirasi secara bebas tanpa harus takut diteror sedemikian rupa. (*)
Editor: Ufqil Mubin
Sekilas: Mursid Mubarak adalah Ketua Bidang Perguruan Tinggi, Kemahasiswaan, dan Kepemudaan di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Kutai Kartanegara.