Peran Mahasiswa di Tahun Politik
Ditulis Oleh: Mursid Mubarak
27 Februari 2019
Di media sosial, akhir-akhir ini sering dijumpai foto sekelompok orang yang mengatasnamakan mahasiswa. Mereka terang-terangan mengampanyekan salah satu calon presiden (capres).
Bukan kali itu saja bermunculan foto kampanye mahasiswa di Facebook untuk salah satu capres. Sebelumnya, kerap ditemukan mahasiswa yang memposting calon legislatif (caleg) yang ikut dalam kontestasi pemilihan umum (pemilu) 2019.
Keikutsertaan mahasiswa mengampanyekan capres dan caleg tertentu, tidak melanggar undang-undang. Justru hal tersebut dilindungi konstitusi negara. Sebagai hak berekspresi dan menyatakan pendapat. Namun pilihan politik untuk terlibat di kubu tertentu, hal itu telah “mengangkangi” idealisme kelompok pemuda terdidik.
Kegawatan itu semakin diperparah di saat organisasi kemahasiswaan disusupi kepentingan partai politik tertentu. Mahasiswa yang tergabung dalam organisasi tersebut turut “mati-matian” membela penguasa atau calon penguasa yang diusung oleh partai tersebut.
Akibatnya, mahasiswa menjadi acuh memberikan kritikan. Walaupun calon yang didukungnya terbukti bersalah. Kritik yang membangun dinilai akan merugikan calon tersebut. Di sisi lain, mahasiswa itu aktif menyerang lawan politik dari calon yang diusung partai politik yang didukungnya.
Politik praktis erat kaitannya dengan kekuasaan. Apabila kekuasaan telah diperoleh, maka ini yang sering membuat siapa saja lupa diri. Melupakan janjinya. Melupakan tujuannya membantu rakyat. Bahkan tak sedikit kekuasaan menjauhkan seseorang dari Tuhannya.
Pentingnya Independensi Mahasiswa
Mahasiswa tidak dilarang berpolitik. Pada dasarnya, mahasiswa sejak dini telah diajarkan berpolitik di lingkungan kampus melalui organisasi kemahasiswaan. Namun politik yang digeluti di perguruan tinggi adalah upaya penerapan konsep politik normatif.
Tentu saja politik dalam pengertiannya yang ideal, bukan hal yang busuk. Justru politik adalah sebuah proses suci dengan tujuan yang mulia. Politik adalah jalan untuk mendistribusikan keadilan.
Prosesi politik yang tengah berlangsung di Indonesia, nyatanya masih jauh dari konsep politik yang ideal. Politik kita kerap diwarnai gerakan-gerakan seperti kampanye hitam dan money politic yang mencederai konsepsi politik. Sudah menjadi rahasia umum, fenomena ini masih mewarnai perpolitikan Indonesia.
Jika kondisi demikian terus terjadi dalam dinamika politik bangsa ini, maka tidak mungkin Indonesia mencapai clean government. Pemerintahan yang jauh dari praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Fenomena yang tidak kalah penting di tahun politik ini, atmosfer perpolitikan bangsa Indonesia sedang mendidih. Dalam kontestasi pemilihan presiden (pilpres), masyarakat terbagi menjadi dua kubu. Hal ini disebabkan perbedaan pilihan politik.
Dalam demokrasi, polarisasi di masyarakat sudah lazim terjadi. Namun sangat disayangkan ketika perbedaan pendapat itu menyebabkan permusuhan yang berkelanjutan dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan.
Di sinilah peran ideal mahasiswa untuk mengingatkan penerapan politik yang normatif dan berkeadilan. Sepanjang sejarah bangsa ini, mahasiswa telah terbukti perannya sebagai agen of control. Aktif mengontrol dan mengawasi jalannya pemerintahan. Tanpa rasa takut, mereka mengkritisi penguasa yang menyimpang dari undang-undang dan kepentingan rakyat. Tanpa segan, mahasiswa berteriak lantang di depan penguasa yang zalim.
Mahasiswa juga selalu digolongkan sebagai kelompok oposisi penguasa. Hal ini menjadikan mahasiswa sebagai ancaman bagi penguasa yang berlaku sewenang-wenang. Terbukti pada tahun 1998, mahasiwa berhasil memaksa Presiden Soeharto melepaskan jabatannya.
Independensi mahasiswa diartikan sebagai tidak berpihak kepada siapa pun kecuali pada kebenaran. Dalam politik praktis, kebenaran dan kebohongan menjadi sesuatu yang abu-abu. Sulit dipisahkan. Terikat satu sama lain.
Filsuf Italia Antonio Gramsci menyebut mahasiswa sebagai intelectual organism. Pemikirannya dapat berguna di masyarakat. Hal ini bisa diperankan melalui penelitian di masyarakat. Melakukan pengabdian dan menjadi penyambung lidah rakyat kepada penguasa. Inilah yang melatarbelakangi pentingnya mahasiswa menjaga idealisme dan independensinya.
Suluh di Tengah Kekacauan Politik
Mahasiswa sebagai kelompok terdidik dan kaum intelektual harus mampu melakukan analisa yang mendalam, memberikan pertimbangan-pertimbangan ilmiah, dan kajian-kajian akademis. Bukan ikut berkampanye dan mendeklarasikan dukungan yang begitu receh. Jauh dari tradisi akademis kampus.
Perlu digarisbawahi bahwa ikut berpartisipasi menggunakan hak pilih adalah keharusan selaku warga negara. Namun mengampanyekan salah satu capres atau caleg bukan ciri seorang mahasiswa.
Tanda pagar (tagar) “#2019 HMI Mengawal Demokrasi” yang pernah diusung Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) sepertinya tepat untuk diperankan para kader HMI dan mahasiswa secara umum. Di tengah percaturan politik praktis yang sedang berlangsung, mahasiswa mestinya memastikan agar demokrasi berjalan sesuai koridor yang diatur undang-undang.
Dengan jargon “#Mahasiswa Mengawal Demokrasi”, mahasiswa bisa menjaga idealisme dan independensinya. Mahasiswa tidak terkontaminasi kepentingan partai politik. Agar fungsinya sebagai pengontrol sosial tidak dipreteli. Hal itu jauh lebih baik ketimbang mahasiswa ikut terpolarisasi di kubu “#2019gantipresiden” dan “#2019lanjut2periode”.
Peran-peran itu bisa dijabarkan mahasiswa dalam bentuk mengampanyekan agar masyarakat menggunakan hak pilihnya. Mahasiswa juga dapat berperan dalam mengawasi jalannya pemilu. Tujuannya agar tidak terjadi pelanggaran-pelanggaran pemilu. Dengan upaya itu, proses politik kiranya dapat berjalan secara jujur dan adil. Peran mahasiswa itu secara perlahan dapat mengawal lahirnya pemerintahan bersih yang selalu kita idamkan. (*)
Editor: Ufqil Mubin
Sekilas: Mursid Mubarak adalah Ketua Bidang Perguruan Tinggi, Kemahasiswaan, dan Kepemudaan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Kutai Kartanegara.