Relevansi Praktik Merdeka Belajar dengan Semboyan Pendidikan Ki Hadjar Dewantara

Oleh: Taschiyatul Hikmiyah
(Mahasiswa Prodi Komunikasi dan Penyiaran UIN Sunan Ampel Surabaya)
Pendidikan merupakan sebuah bimbingan yang diberikan oleh orang dewasa kepada anak untuk mencapai kedewasaan dalam perkembangannya dan ditujukan untuk pembentukan karakter (Langeveld, 2017). Pendidikan menjadi salah satu indikator kemajuan suatu negara. Karenanya dengan keberadaan sistem pendidikan yang baik disinyalir akan menciptakan Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul serta dapat menjadi pelopor dalam kemajuan negara. Tinggi rendahnya kualitas pendidikan menjadi representasi dari kondisi suatu negara.
Secara gamblang, pendidikan juga menjadi faktor pendukung dalam peningkatan pembangunan suatu negara, hal ini merujuk pada kontribusi bidang pendidikan sebagai wadah untuk mendidik serta mencetak generasi muda yang berpotensi untuk menciptakan kemajuan serta kesejahteraan bangsa.
Dunia pendidikan kini tengah bertransformasi seiring dengan peluncuran kebijakan Merdeka Belajar. Dalam peluncurannya, kebijakan Merdeka Belajar mengusung sejumlah pola perubahan terkait kurikulum hingga ekosistem pendidikan.
Merdeka Belajar: Solusi Dunia Pendidikan(?)
Institusi pendidikan kerap kali dijadikan sebagai rujukan dalam memandang potensi yang dimiliki oleh peserta didik, karenanya didasari oleh faktor ketidakseragaman antara optimalisasi penerapan kurikulum pada satu institusi dengan institusi lainnya. Meski terdapat beberapa kurikulum yang diterapkan di Indonesia masing-masing lengkap dengan kelebihan serta kekurangannya.
Oleh sebab itu, kehadiran kebijakan baru berwujud Merdeka Belajar turut berkontribusi dalam memajukan dunia pendidikan dengan memberikan solusi berupa keberimbangan dari keberadaan kurikulum yang sudah ada yakni kurikulum 2013 dan kurikulum darurat. Kurikulum 2013 yang padat materi disinyalir tidak akan membuat siswa mengalami penurunan pengetahuan secara akademis atau akrab disebut learning loss. Namun, kecenderungan statis pada kurikulum 2013 akan terasa kurang tepat di era digitalisasi seperti saat ini.
Sedangkan Kurikulum arurat yang berlaku pada tahun ajaran 2020 hingga 2021 juga memiliki kelebihan dari segi beban materi yang lebih rendah dan telah melakukan proses penyesuaian dengan metode Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) sehingga meski dalam kondisi darurat seperti halnya kala itu terjadi pandemi tidak menghalangi keberlangsungan proses belajar mengajar. Namun, jika Kurikulum Darurat ini terus dilakukan tanpa penyesuaian dengan kondisi yang semestinya disinyalir akan meningkatkan learning loss dan peserta didik akan kehilangan motivasi belajar.
Sementara itu, kurikulum Merdeka hadir sebagai penyelaras dengan beban materi yang tidak seberat kurikulum 2013 alias mengunggulkan praktik lapangan (project base learning). Kurikulum Merdeka juga memberikan kebabasan kepada tenaga pengajar untuk mengatur waktu pelajaran (flexible time) sehingga berpotensi untuk mengembangkan potensi tenaga pengajar untuk memberikan inovasi dalam proses belajar mengajarnya. Kehadiran Kurikulum Merdeka turut memberikan kontribusi dalam mewarnai dunia pendidikan terutama dari aspek inovasi, alih-alih menjadi sesuatu yang problematik justru Kurikulum Merdeka hadir sebagai solusi dari stagnasi sistem pendidikan Indonesia.
Melihat Praktik Merdeka Belajar dari ‘Kacamata’ Ki Hajar Dewantara
Kegiatan mendidik dan mengajar dalam perspektif Ki Hajar Dewantara didefinisikan sebagai proses memanusiakan manusia, yang mana manusia harus merdeka dalam segala aspek terutama dalam aspek pendidikan.
Ki Hajar Dewantara atau yang juga dikenal sebagai sosok Bapak Pendidikan Nasional berhasil mengemukakan tiga semboyan berbahasa jawa yang beridentitas penting bagi dunia pendidikan. “Ing ngarsa sung tuladha,” semboyan pertama ini bermakna seorang pendidik harus memberi contoh dan menjadi panutan bagi peserta didiknya (Muljana, 2008). Selanjutnya, “ing madya mangun kersa,” semboyan yang kedua memiliki makna bahwa seorang pendidik harus berada ditengah-tengah peserta didik dan senantiasa membangun semangat serta dapat memanfaatkan ide-idenya dalam proses belajar mengajar untuk menunjang potensi peserta didiknya. “tut wuri handayani,” semboyan ketiga bermakna bahwa seorang pendidik bertugas untuk terus-menerus menuntun, menopang, dan menunjuk arah yang benar bagi hidup peserta didiknya.
Pendidikan dalam ‘kacamata’ Ki Hajar Dewantara dimaknai sebagai upaya konkret untuk memerdekakan manusia secara utuh dan penuh. Hal ini mengindikasikan bahwa pendidikan merupakan salah satu cara manusia untuk menuju kemerdekaan secara lahir dan batin, baik secara personal maupun secara kelompok atau masyarakat. Pendidikan menjadi salah satu wadah penting dalam membangun otonomi intelektual, eksistensial, dan sosial.
Adanya keterkaitan antara kebijakan merdeka belajar dengan semboyan Ki Hajar Dewantara seakan tidak dipahami secara sadar meski semboyan tersebut telah membudaya di masyarakat Indonesia. Akan tetapi, setelah mengetahui pernyataan diatas, kemudian perlu digarisbawahi bahwa praktik nyata dari kebijakan Merdeka Belajar memiliki relevansi dengan semboyan yang telah dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantara, terkhusus poin semboyan yang ketiga yakni tut wuri handayani.
Akhir Kata
Semboyan yang dicetuskan oleh Bapak Pendidikan Nasional Indonesia sudah membudaya bahkan telah memberikan beragam inspirasi perihal bagaimana tugas serta kedudukan seorang pendidik secara semestinya. Pun semboyan ini telah berperan penting dalam dunia pendidikan.
Reformasi pendidikan yang berasal dari pengembangan model kurikulum akan berdampak pada terciptanya sistem pendidikan gaya baru. Ki Hajar Dewantara menegaskan bahwa konsep pendidikan didasarkan pada asas kemerdekaan, bermakna bahwa manusia diberi kebebasan dari Tuhan yang Maha Esa untuk mengatur kehidupannya dengan tetap seirama dengan aturan yang berlaku di masyarakat. Pemikiran Ki Hajar Dewantara perihal merdeka belajar juga selaras dengan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat terkait tujuan nasional yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Konteks mencerdaskan bangsa bukan berarti mencerdaskan individu saja, namun juga meliputi proses penyesuaian sistem pendidikan dengan kebutuhan hidup serta penghidupan rakyat Indonesia. (*)