Menuai Sukses di Pemilu 2019, Menimba Pelajaran Demi Suksesi Pilkada


Akurasi.id, Samarinda – Pemilu 2019 meninggalkan pelajaran berharga bagi penyelenggara pemilu untuk menyongsong pesta demokrasi di tahun-tahun yang akan datang. Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan pemerintah telah mengantongi beragam catatan untuk perbaikan pemilu. Karena itu, publik menanti pelaksanaan pemilu yang benar-benar sesuai amanah konstitusi dan semangat kebangsaan.
Terdapat beragam catatan yang dapat diketengahkan dalam pelaksanaan Pemilu 2019 di Kaltim. Di antaranya keterlambatan pengiriman surat suara, distribusi C6, penyelenggara yang terjerat pidana pemilu, dan golongan putih (golput).
Di pemilu tahun ini, sejatinya golput turun drastis. Hal itu terjadi karena masifnya kampanye dan sosialisasi pemilu. Di Bumi Etam, angka golput kurang dari 20 persen. Artinya, partisipasi pemilih melampaui target nasional.
Kali ini kami berkesempatan mewawancara komisioner KPU Kaltim, Mukhasan Ajib. Artikel ini memuat lanjutan dari wawancara yang telah terbit di Akurasi.id. Kami sengaja menerbitkannya secara bertahap untuk memudahkan publik memahami ide pokok yang disampaikan mantan jurnalis ini.
Hambatan apa yang dihadapi saat pendistribusian surat suara?
Kita sempat menghadapi beberapa hambatan. Ada keterlambatan pengiriman surat suara di Mahulu, Samarinda, Balikpapan. Penyebabnya, terdapat perubahan jumlah pemilih di TPS. Padahal H-1 semua perlengkapan kotak suara harus sampai di TPS.
Satu TPS di wilayah perusahaan ternyata masuk dalam DPTb [Daftar Pemilih Tetap Tambahan]. DPTb ini tidak disediakan surat suaranya. Hal ini sesuai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Surat suara hanya diadakan sesuai jumlah DPT plus cadangan 2 persen.
KPU RI mengirim surat suara di hari-hari terakhir menjelang pemilihan. Besok sudah pemungutan suara, surat suara baru datang pada malam hari. Padahal kita harus menyortir, melipat, dan memisahkannya. Untuk menghindari keterlambatan pengiriman, kita meminjam helikopter milik Pangdam. Kalau tidak ada helikopter, surat suara untuk Long Apari Mahulu tidak bisa didistribusikan.
Masalahnya di pengadaan surat suara. Pengadaannya dilakukan lewat mekanisme lelang online di KPU RI. Pemenangnya di Surabaya dan Jakarta. Akhirnya pendistribusiannya terhambat. Hal ini dipengaruhi banyak surat suara yang harus dipisah karena perbedaan dapil. Di Samarinda saja ada lima dapil. Surat suaranya pasti berbeda-beda.
Nanti akan ada pilkada di beragam provinsi. Percetakan surat suara dilakukan di Jawa. Misalnya dia mencetak surat suara untuk pilkada dua provinsi. Pasti mereka akan kewalahan.
Perlu ada aturan untuk menyelesaikan masalah ini. Setidaknya pelelangan surat suara dilakukan di provinsi yang menyelenggarakan pilkada. Dengan begitu, seandainya ada kekurangan, kita bisa mengontrolnya. Cara ini efisien. Dengan pencetakan di Jawa, kita berbondong-bondong ke sana untuk mengontrol pencetakan surat suara. Itu memakan biaya yang tidak sedikit.
Jika saja ada aturan yang memberikan peluang bagi daerah mencetak sendiri surat suara, maka akan banyak sekali keuntungannya bagi penyelenggara. Kita tidak perlu mengangkut surat suara dari jauh. Itu membutuhkan waktu yang panjang. Kalau kita cetak di daerah, setelah surat suara dicetak, kita bisa langsung mengirimnya ke TPS.
Saya rasa tidak mungkin ada penyelewengan surat suara. Karena ada Bawaslu dan kepolisian yang mengawasinya. Kita bisa mencetaknya sesuai kebutuhan tanpa dibebani rasa takut karena kekurangan surat suara. Cara ini dapat dijalankan di bawah kontrol yang ketat disertai dokumentasi.
Kemarin kita juga menghadapi kendala distribusi C6. Harusnya pada 14 April, C6 sudah di tangan pemilih. Sayangnya pembagiannya terlambat. Penyebabnya, pencetakannya dilakukan di luar daerah. Padahal itu mudah saja. Hanya kertas hitam putih. Kita di daerah pun bisa membuatnya.
Sayangnya, penawarannya dilakukan dengan menggunakan mekanisme elektronik. Akhirnya perusahaan luar daerah yang mendapatkannya. Mereka menawarkan dengan harga yang rendah. Tetapi imbasnya di distribusi surat suara. Ini tidak hanya terjadi di Kaltim. Provinsi lain pun menghadapi hal yang sama. Aturannya memang begitu. Kita tidak bisa melanggarnya.
Pelajaran apa lagi dari Pemilu 2019 yang dapat diambil penyelenggara pemilu?
Selalu ada hambatan di setiap pemilu. Rencananya di 23 September 2020 akan dilakukan pemungutan suara untuk pilkada. Terdapat sembilan kabupaten/kota yang melaksanakan pilkada. Minus Penajam Paser Utara (PPU). Karena pilkada PPU berbarengan dengan pilgub.
Semua KPU di daerah sudah menyusun anggaran untuk diajukan ke pemerintah kabupaten/kota. Ada perubahan-perubahan di pilkada dibanding Pemilu 2019. Semakin banyak jumlah TPS, anggaran akan semakin membengkak. Apalagi terdapat petugas Linmas dan tambahan petugas di TPS. Di Pemilu 2019, honor mereka tergolong rendah. Padahal tugas mereka sangat berat.
Honor mereka tidak sebanding dengan tanggung jawabnya. Honor mereka diharapkan dapat ditingkatkan sesuai UMR. Kenaikan honor petugas-petugas ini akan menambah anggaran KPU kabupaten/kota. KPU pasti akan mengajukan anggaran yang lebih tinggi dibanding pilkada sebelumnya. Itu hal yang wajar. Yang penting anggarannya betul-betul dipertanggungjawabkan. Laporan keuangannya tidak bermasalah.
Bagaimana partisipasi pemilih di pemilu 2019?
Partisipasi pemilih di Pemilu 2019 ini meningkat. Kita bisa membandingkannya dengan Pilgub 2018. Partisipasi masyarakat di pilgub hanya 57 persen. Golputnya 43 persen. Di pemilu tahun ini, partisipasi di pilpres 80,73 persen, DPR RI 80,14 persen, dan DPD 80,11 persen. Ini persentase partisipasi dihitung berdasarkan DPT.
Artinya partisipasi pemilih di Kaltim melampaui target nasional. Partisipasi di tingkat nasional 81,9 persen. Kalau partisipasinya lebih dari itu, ada beban bagi penyelenggara di pemilu berikutnya. Apakah dapat dipertahankan? Capaian partisipasi di nasional saja terlampau tinggi. Tetapi itu fakta di lapangan. Hanya saja ke depan harus dipertahankan atau ditingkatkan.
Bagaimana dengan golput? Di kabupaten/kota sudah ada gambarannya. Kita sudah memetakannya. Ada kelompok-kelompok yang apatis terhadap pemilu. Kita terus melakukan sosialisasi. Sosialisasi bukan hanya tugas penyelenggara pemilu. Peserta pemilu, partai politik, pemerintah daerah, dan masyarakat pun diharapkan melakukan hal yang sama. Kerja sama dibutuhkan untuk menurunkan angka golput.
Terdapat anggota PPK yang terjerat pidana pemilu. Pendapat Anda?
Ada lima orang penyelenggara pemilu di PPK Loa Janan Ilir yang saya dengar mendapat tuntutan satu tahun penjara. Kita turut prihatin. Entah mereka sengaja atau tidak. Perubahan data membuktikan ada kesalahan. Itu fakta persidangan. Walaupun datanya sudah diubah sesuai perolehan suara para caleg. Tetapi mereka sudah dilaporkan ke Bawaslu. Akhirnya mereka dituntut pidana pemilu.
Mungkin mereka tidak sengaja. Ada kekeliruan yang tidak disengaja. Tetapi mereka sudah divonis bersalah di pengadilan. Kita tidak bisa melakukan apapun selain prihatin. Putusan pengadilan harus dijalankan. Mudah-mudahan kasus yang sama tidak terulang lagi.
Ini pelajaran berharga. Kasu ini harus dijadikan contoh. Penyelenggara pemilu di pilkada harus berhati-hati. Sekecil apapun jangan mengubah data. Walaupun ada iming-iming, ancaman, atau intimidasi dari pihak-pihak tertentu.
Setiap penyelenggara pemilu telah disumpah. Kita disumpah agar tidak menerima imbalan. Kita berharap KPU di kabupaten/kota merekrut orang-orang yang mampu menjalankan tugas dengan baik. Perhatikan baik-baik kemampuan dan integritas calon penyelenggara di semua tingkatan. Kita di KPU provinsi juga begitu. Tidak hanya kemampuan intelektual yang diperhatikan. Selain intelektualitas, yang paling penting adalah integritas.
Rekrutmen PPK dan PPS ini dipermudah. Umur 17 tahun sudah bisa jadi penyelenggara. Anak-anak lulusan SMA pun bisa mendaftar sebagai anggota PPK dan PPS. Saya yakin mereka bisa diarahkan. Yang penting terbukti integritas.
Masyarakat Kaltim diharapkan terlibat di pilkada. Silakan mahasiswa atau lulusan SMA merasakan menjadi penyelenggara. Ini sebagai tanggung jawab bersama. Memang honornya tidak besar. Tetapi tugas ini untuk kepentingan negara. Kita bekerja dengan sepenuh hati. Mudah-mudahan rekrutmen penyelenggara di pilkada betul-betul dilakukan dengan baik dan penuh tanggung jawab. (*)
Penulis/Editor: Ufqil Mubin