Kabar Politik

Pemilu Serentak dalam Sorotan

Loading

Pemilu Serentak dalam Sorotan (1)
Mukhasan Ajib (Ufqil Mubin/Akurasi.id)

Akurasi.id, Samarinda – Setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan presiden dan wakil presiden terpilih, tahapan Pemilu 2019 memasuki babak akhir. Meski demikian, pemilu serentak pertama yang menyatukan pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan legislatif (pileg) ini menyisakan catatan dan kritik dari berbagai pihak.

Pun begitu, penyelenggara pemilu menyadari, terdapat kekurangan-kekurangan yang mesti diperbaiki di pemilu mendatang. Memang, tak ada yang benar-benar sempurna dalam tahapan pemilu yang melelahkan ini.

Barangkali karena itu pula sementara pihak tak puas dengan hasil Pemilu 2019. Hal itu ditandai dengan ruang publik yang dipenuhi dengan hujatan pada penyelenggara pemilu. Dari kelompok ini, ketidakpercayaan terhadap penyelenggara pemilu menyentuh titik nadir.

Di lain sisi, ada kelompok yang memberikan apresiasi terhadap pemilu serentak ini. Mereka berpendapat, penyelenggara pemilu telah menjalankan tahapan pesta demokrasi dengan jujur dan adil.

Jasa SMK3 dan ISO

Ibarat pepatah, pengalaman adalah guru terbaik. Demi menjembatani dua kelompok yang saling berseberangan tersebut, penting kirangnya menggambali “pelajaran” untuk perbaikan pemilu. Tentu saja diperlukan evaluasi dan telaah kritis berkenaan dengan hal-hal mendasar yang dapat diperbaiki di masa depan.

Baca Juga  Selain Pikirkan IKN, Makmur Ingatkan Isran-Hadi Juga Pikirkan Pembangunan di Wilayah Pelosok

Pada Senin (1/7/19), Akurasi.id berkesempatan “mengais” pandangan Komisioner KPU Kaltim, Mukhasan Ajib. Catatan ini memuat bagian pertama dari hasil wawancara kami dengan magister ilmu komunikasi tersebut.

Bagaimana pandangan Anda terhadap pemilu serentak ini?

Pemilu serentak ini baru pertama kali dilaksanakan di Indonesia. Dasarnya putusan MK Nomor 17 Tahun 2013. Kemudian dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, diperintahkan, KPU sebagai penyelenggara melaksanakan pileg berbarengan dengan pilpres.

Sejak awal, kami sudah menyadari, ini tugas berat bagi KPU. KPU harus menyusun peraturan yang dasarnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017. Tidak boleh menyimpang dari situ. Kemudian KPU menyusun jadwal yang akan dilaksanakan penyelenggara di tingkat provinsi, kabupaten/kota, PPK, PPS, dan KPPS.

Secara teknis, memang pelaksanaan pemilu serentak ini tergolong berat. Yang paling berat adalah merekrut anggota PPK, PPS, dan KPPS. Di Pemilu 2019 ini banyak sekali korban yang berjatuhan. Kalau saya tidak salah, ada 460 orang dari KPU yang meninggal dunia. Itu belum terhitung anggota Bawaslu, pihak keamanan, dan saksi.

Maka dari itu, pelaksanaan pemilu ini perlu dievaluasi. Nanti akan ada rakor tingkat nasional. Kegiatan ini sudah direncanakan KPU RI. Masing-masing provinsi akan menyampaikan permasalahan-permasalahan yang pernah dihadapi selama tahapan Pemilu 2019.

Baca Juga  Din Syamsuddin Bakal Deklarasikan Partai Pelita

Kami sudah memiliki gambaran yang akan disampaikan di rakor KPU RI. Terutama masalah pelaksanaan pemilu serentak ini. Karena sistem ini betul-betul menyita tenaga, khususnya untuk penyelenggara di tingkat PKK, PPS, dan KPPS.

Apakah pemilu serentak ini perlu diubah?

Kalau bisa di pemilu berikutnya, jangan lagi dilaksanakan secara serentak. Ada rencana dari DPR RI, pemilu akan diadakan serentak. Pileg, pilpres, dan pilkada akan dilaksanakan bersamaan.

Jadi akan ada penambahan dua kotak. Karena ada tambahan pemilihan bupati/wali kota dan pemilihan gubernur. Jika ditotal, semuanya ada tujuh kota. Apa yang terjadi jika sistem ini diterapkan? Pasti banyak korban yang akan berjatuhan. Lima kotak saja sudah sangat melelahkan dan memakan banyak korban. Penyelenggara di tingkat bawah harus menghitung suara sampai semalam. Kalau tujuh kotak, penghitungan suara bisa berhari-hari.

Ada beberapa opsi yang bisa diterapkan. Secara pribadi, saya berharap pemilu tetap dipisah antara pilpres dan pileg. Pileg meliputi pemilihan DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Kemudian berselang dua tahun, diadakan pilpres yang berbarengan dengan pemilihan gubernur dan pemilihan bupati/wali kota.

Bisa juga kita mengambil opsi lain. Pemilu nasional dan pemilu daerah dipisah. Di pemilu nasional kita memilih presiden, DPR, dan DPD. Kemudian pemilu daerah kita memilih wali kota, bupati, gubernur, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.

Baca Juga  Tunggu Raperda Pengelolaan Aset Daerah, Syafruddin: Mau Dikelola atau Diserahkan ke Kabupaten/Kota

Berapa besaran bantuan yang diberikan pemerintah terhadap penyelenggara pemilu yang meninggal dunia?

Kemarin belum dianggarkan untuk premi asuransi. Makanya ahli waris hanya mendapat santunan sesuai kemampuan keuangan KPU. Kami sudah mengajukan anggaran di Kementerian Keuangan. Alhamdulillah diakomodir. Kami diberikan anggaran. Tetapi belum 100 persen terbayar.

Ada 18 orang penyelenggara pemilu yang meninggal di Kaltim. Baru dua orang yang menerima santunan. Keduanya dari Bontang. Sisanya masih dalam proses. Setiap orang mendapat Rp 36 juta.

Ada syarat-syarat administrasi yang harus dipenuhi untuk mendapatkan bantuan ini. Misalnya surat keterangan kematian, nomor rekening, dan beberapa administrasi yang membenarkan bahwa yang bersangkutan anggota KPPS. Kalau syarat-syaratnya sudah dipenuhi, kami akan mengirimnya ke pusat. Kemudian diverifikasi dan dibuat surat keputusannya.

Ke depan, kami akan mengusulkan kepada pemerintah supaya ada anggaran asuransi untuk KPPS. Terutama asuransi kecelakaan dan kesehatan selama pelaksanaan pemilu. Mereka bertugas hanya sebulan. Mungkin dengan premi Rp  60 ribu atau Rp 100 ribu per orang, risikonya ditanggung perusahaan. (*)

Penulis/Editor: Ufqil Mubin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Terkait

Back to top button