Kabar Politik

Rektor Unmul Bebaskan Mahasiswanya Berdemo, Anggap Hak Berdemokrasi

Loading

Rektor Unmul Samarinda Masjaya tidak mempersoalkan mahasiswanya terlibat dalam aksi unjuk rasa. (Nurdin Upi/Akurasi.id)

Akurasi.id, Samarinda – Menyikapi aksi demonstrasi yang telah dua kali dilakukan para mahasiswa terkait penolakan revisi perundang-undangan, Rektor Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda Masjaya, menyebut aksi demonstrasi sebagai pilihan individu dalam menyampaikan aspirasi. Termasuk oleh para mahasiswa. Para tenaga pendidik hanya bisa melakukan sebatas imbauan. Namun tidak untuk melakukan pelarangan. Kendati demikian, ia berharap mahasiswa yang turun aksi, tidak asal berorasi. Mesti menyampaikan keresahan, tetapi juga harus diimbangi data yang akurat.

Guru besar Unmul ini meminta, agar aspirasi massa dapat diterima para anggota dewan. Sebagai wakil rakyat, mestinya bisa membuka ruang untuk berdialog. Sehingga, aspirasi yang disampaikan dapat disinkronkan dengan pemerintah dalam mengambil kebijakan.

“Yang kami lakukan adalah memberikan aktivitas pembelajaran sesuai dengan apa yang sudah terprogram,” ungkapnya.
Meski memiliki pilihan bebas tanpa adanya batasan dalam berdemokrasi, namun Masjaya tetap menghimbau para mahasiswa tak melupakan kewajibannya. Yakni soal pembelajaran di dalam ruang kelas.

“Intinya, membangun negara memang harus dengan kebersamaan. Kalau itu bisa dilakukan, Insya Allah bisa berjalan baik,” ucapnya.

Jasa SMK3 dan ISO

Tak ingin ambil pusing bila ada teguran dan sanksi dari Menristekdikti. Apalagi mahasiswa bergerak bukan atas dasar dan nama institusi kampus. Umumnya atas nama organisasi semisal badan eksekutif mahasiswa (BEM) atau sejenisnya. Tak ada urusan ataupun alasan pihak kampus mengatur lembaga mahasiswa yang diakui keberadaannya sebagai organisasi resmi. Selama isu yang digulirkan masih dalam jalur konstitusi, tidak ada hak untuk meredamnya.

Baca Juga  Dari LKPj Gubernur Kaltim, Agus Aras Ingatkan 3 Proyek Prioritas Wilayah Utara, Termasuk Pelabuhan

“Tapi, dalam menyampaikan aspirasi, harus betul-betul kapasitas sebagai mahasiswa. Jangan sampai ditunggangi orang-orang yang punya kepentingan. Yang di luar kepentingan mahasiswa,” tegasnya.

Jika Berikan Sanksi, Anggap Kembali ke Zaman Orba

Dosen Hukum Unmul Samarinda Herdiansyah Hamzah mendukung adanya kebebasan bagi mahasiswa menyampaikan aspirasinya. (Dok Akurasi.id)

Nyaris senada dengan yang diucapkan Masjaya sebagai guru besar di Unmul. Peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Fakultas Hukum (FH), Unmul, Herdiansyah Hamzah mengatakan pernyataan Menristekdikti sebagai pembatasan kebebasan akademik, yang justru seharusnya dilindungi.

Dalam pernyataannya, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohammad Nasir, mengingatkan rektor dan dosen yang menggerakkan aksi demo mahasiswa di sejumlah wilayah, harus diberikan sanksi. Argumentasi pembatasan itu, kata Castro – sapaan Herdiansyah, adalah sebuah politik birokrasi untuk meredam gelombang unjuk rasa mahasiswa, termasuk dosen dan aktivis akademik lainnya.

Baca Juga  Digempur Gas Air Mata, Aksi Mahasiswa Kaltim Pecah, Puluhan Orang Jatuh Pingsan

“Ini mirip gaya orde baru ketika menerapkan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus (NKK/BKK) yang diterapkan rezim otoritarian Soeharto,” ungkapnya.
Selain itu, bentuk ancaman tersebut adalah pembatasan hak yang melanggar konstitusional setiap warga negara, untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat sebagaimana yang disebutkan secara eksplisit dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945.

“Tugas Presiden dan Menristekdikti seharusnya menjamin agar kebebasan tersebut terpenuhi dengan baik, bukan justru membatasinya,” jelasnya.

Lebih dijelaskannya, ancaman pembatasan tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip kebebasan akademik sebagaimana yang diatur dalam Pasal 8 dan 9 UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, yang secara lugas menyebutkan bahwa kebebasan akademik merupakan kebebasan civitas akademik dalam Pendidikan Tinggi untuk mendalami dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan Teknologi secara bertanggung jawab melalui pelaksanaan Tridarma.

“Pembatasan kebebasan akademik dengan menggunakan cara-cara ala orde baru seperti ini, menandakan demokrasi kampus sedang didesak mundur. Kritik yang dibungkam dengan cara-cara otoriter. Ini menandakan Negara telah gagal membangun tradisi berpikir kritis di lingkungan kampus,” tegasnya.

Baca Juga  Kecewa Verikasi Faktual Tetap Jalan, Parawansa: KPU Samarinda Jangan Seperti Robot Tak Punya Hati

Mestinya, unjuk rasa mahasiswa dan aktivitas akademik lainnya, harus dilindungi dengan sebaik-baiknya. Tidak boleh ada pembatasan dan intimidasi.
“Ketika upaya-upaya intimidasi terus dijadikan pilihan kebijakan oleh Negara, niscaya embrio otoritarian akan terus berkembang dan jadi benalu bagi keberlangsungan demokrasi kita,” jelas dia.

Sebelumnya, ancaman sanksi disampaikan Menristekdikti usai menggelar pertemuan dengan Presiden Jokowi di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (26/9/2019). Secara umum, ada dua poin yang disampaikan Natsir.

Dia mengatakan, Presiden meminta Menristekdikti untuk menghimbau mahasiswa agar tidak turun ke jalan karena akan dibuka ruang dialog. Kemudian, Natsir memastikan akan ada sanksi bagi rektor yang tak bisa meredam gerakan mahasiswanya.

Bahkan termasuk dosen yang memperbolehkan atau mengarahkan mahasiswanya untuk ikut berunjuk rasa, juga tak luput dari ancaman sanksi mulai dari surat peringatan pertama dan dua. Apabila dalam aksinya menyebabkan kerugian negara dan sebagainya, maka bisa dikenakan hukuman pidana. (*)

Penulis: Nurdin Upi
Editor: Yusuf Arafah

Print Friendly, PDF & Email

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Terkait

Back to top button