
Jakarta, Akurasi.id – Aksi besar-besaran akan dilakukan oleh ribuan pengemudi ojek online (ojol) pada Selasa, 20 Mei 2025. Mereka berencana melakukan shutdown aplikasi secara massal selama 24 jam penuh sebagai bentuk protes terhadap berbagai kebijakan dan regulasi yang dinilai merugikan.
Aksi ini digagas oleh Asosiasi Pengemudi Ojol Garda Indonesia, dengan estimasi partisipasi lebih dari 25 ribu pengemudi dari berbagai wilayah di Jabodetabek, Jawa, hingga sebagian Sumatera. Para pengemudi ojek dan taksi online tersebut akan berkumpul di beberapa titik basecamp komunitas ojol di lima wilayah Jakarta.
“Serta akan dilakukannya pelumpuhan pemesanan penumpang, makanan, dan pengiriman barang melalui aplikasi secara massal dengan cara mematikan aplikasi pada hari Selasa, 20 Mei 2025 mulai pukul 00.00 sampai 23.59 WIB,” ujar Ketua Umum Garda Indonesia, Raden Igun Wicaksono.
Tuntutan Aksi Ojol 20 Mei 2025
Aksi yang disebut sebagai bentuk “mogok digital” ini membawa lima tuntutan utama:
-
Sanksi tegas untuk aplikator yang melanggar regulasi Permenhub PM No.12 Tahun 2019 dan Kepmenhub KP No.1001 Tahun 2022.
-
Rapat Dengar Pendapat (RDP) Gabungan DPR Komisi V bersama Kemenhub, asosiasi, dan aplikator.
-
Pemangkasan potongan aplikator menjadi maksimal 10 persen.
-
Revisi tarif penumpang, termasuk penghapusan fitur-fitur seperti aceng (auto cut engine), slot, hemat, dan prioritas.
-
Penetapan tarif layanan makanan dan pengiriman barang.
Polisi Siapkan Rekayasa Lalu Lintas
Untuk mengantisipasi kepadatan dan potensi kemacetan, Ditlantas Polda Metro Jaya menyatakan akan menyiapkan rekayasa lalu lintas yang bersifat situasional.
“Kami akan lihat dulu potensi massa dan lokasi titik kumpulnya, jika perlu baru kita lakukan rekayasa,” jelas AKBP Argo Wiyono, Wadirlantas Polda Metro Jaya.
Oraski Tolak Wacana Pemotongan Komisi
Di sisi lain, Organisasi Angkutan Sewa Khusus Indonesia (Oraski) menyatakan ketidaksetujuannya terhadap wacana pemotongan komisi aplikator menjadi 10 persen. Ketua Umum Oraski, Fahmi Maharaja, menyebut kebijakan itu bisa memicu keruntuhan ekosistem transportasi online.
“Potongan adalah ranah bisnis, bukan pemerintah. Kalau dipaksakan, bisa mengurangi pengguna aplikasi dan merugikan driver sendiri,” ujar Fahmi.
Sementara itu, anggota Komisi V DPR RI Adian Napitupulu menyuarakan pentingnya pembatasan komisi maksimal 10 persen karena banyak keluhan dari pengemudi yang merasa tercekik dengan potongan yang mencapai 30 persen.
Aturan Komisi Sesuai Kepmenhub
Sebagai informasi, Keputusan Menteri Perhubungan (KP) No.1001 Tahun 2022 menetapkan total biaya layanan maksimal 20 persen, yang terdiri dari:
-
Biaya sewa aplikasi: maksimal 15 persen
-
Biaya penunjang lainnya: maksimal 5 persen.(*)
Penulis: Nicky
Editor: Willy