Di Balik Kericuhan Aksi Penolakan Pabrik Semen
Samarinda, Akurasi.id – Pada Senin (8/4/19), demonstrasi Aliansi Masyarakat Peduli Karst (AMPK) yang menolak izin dan pembangunan pabrik semen di Kaltim berakhir ricuh. Puluhan mahasiswa, aparat kepolisian, dan anggota Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) mengalami luka-luka.
Pegiat sosial dan pengamat hukum dari Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Herdiansyah Hamzah mengatakan, bentrokan mahasiswa dan aparat bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri.
“Tetapi harus dilihat rangkaian peristiwa sebelumnya. Pernyataan-pernyataan gubernur dan wakilnya seperti menyulut emosi massa di AMPK. Sebut saja pernyataan Isran Noor terkait ‘sudah mendengarkan di balik jendela kantor gubernur’, yang terkesan abai dengan tuntutan massa,” bebernya.
Dia menyebut, pernyataan itu mengisyaratkan bahwa Isran Noor tidak akan meninjau ulang izin pabrik semen. Selain itu, pernyataan Wakil Gubernur Kaltim Hadi Mulyadi yang menyebut mahasiswa dan akademisi bego semakin memperkeruh situasi.
“Puncaknya, lagi-lagi bentrokan terjadi hari ini dan memakan banyak korban luka. Lagi-lagi pula massa di akar rumput yang terkena imbasnya. Bukan elit yang memegang kuasa dan kebijakan,” sesalnya.
Pengajar di Fakultas Hukum Unmul itu menegaskan, bentrokan terjadi karena lemahnya manajemen konflik dari pemerintah. Hal itu menandakan minimnya kemampuan penguasa mengelola perbedaan pandangan. Pemerintah terkesan tidak mau mendengarkan pendapat publik.
“Benar kata Ed Ayres. Dia menyebutkan bahwa begitu banyak aktivitas industri ekstraktif baik yang bersifat ilegal maupun yang disetujui oleh pemerintahan korup yang mengabaikan keluhan dan keberatan penduduk asli. Ibarat kata pepatah, aures habent et non audient (bertelinga tapi tidak mampu mendengar),” katanya.
Sejatinya mahasiswa membuka dialog dengan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kaltim. Namun pemerintah harus menjaminan evaluasi izin pabrik semen. “Jika ruang dialog dibuka sekaligus jaminan kebijakan itu akan dievaluasi, maka kompromi pasti akan ada,” ucapnya.
“Jalan terbaik memang membuka ruang dialog. Tapi itu mesti diawali dengan jaminan akan dievaluasi kebijakan izin pabrik semen dan izin usaha lain di wilayah karst Kutim-Berau. Sebab jika jaminan itu tidak ada, buat apa ada dialog. Toh kebijakan izin itu sudah dikunci dan tidak akan ditinjau,” lanjutnya. (*)
Penulis: Ufqil Mubin
Editor: Ufqil Mubin