
Jakarta, Akurasi.id – Tagar #KaburAjaDulu kini tengah ramai di media sosial, mengajak banyak Warga Negara Indonesia (WNI) untuk merantau ke luar negeri. Fenomena ini memicu perdebatan mengenai prospek anak muda, nasionalisme, dan fenomena brain drain yang terjadi akibat kekecewaan terhadap sistem di tanah air.
Kepala Kantor Komunikasi Presiden, Hasan Nasbi, menanggapi isu tersebut dengan menegaskan bahwa keinginan untuk merantau sebaiknya disertai keterampilan yang mumpuni dan kepatuhan terhadap prosedur hukum. “Kalau mau merantau, itu bagus lho. Tapi ingat, kalau mau merantau ke luar negeri, harus punya skill. Karena kalau nggak punya skill, nanti nggak bisa punya pekerjaan baik di luar negeri. Yang kedua, harus taat prosedur, supaya tidak jadi pendatang haram,” ujarnya kepada wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (17/2/2025).
Tak hanya itu, respons terhadap tagar ini semakin memanas dengan pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Bahlil Lahadalia. Dalam sebuah video yang diunggah di Instagram, Bahlil mempertanyakan nasionalisme anak muda yang lebih memilih bekerja di luar negeri. Namun, pernyataannya tersebut mendapat kritikan dari sejumlah diaspora Indonesia yang menganggap pilihan merantau bukan karena kurang cinta tanah air, melainkan karena di luar negeri mereka merasa lebih dihargai dan mendapatkan peluang berkembang yang lebih baik.
Seorang aktivis muda, Vicky, menyuarakan bahwa nasionalisme bukan semata ditentukan oleh KTP atau lokasi geografis, melainkan oleh kontribusi nyata kepada bangsa. “Banyak anak muda Indonesia yang pergi ke luar negeri bukan karena mereka gak cinta tanah air, tapi karena di sana mereka merasa lebih dihargai, lebih punya peluang, dan bisa berkembang lebih jauh,” ujarnya melalui akun Instagram. Vicky bahkan mengajak pemerintah untuk melakukan introspeksi atas sistem yang dinilai membuat generasi muda merasa tidak betah di Indonesia.
Fenomena brain drain pun kembali menjadi perbincangan, terutama di kalangan akademisi. Berdasarkan keterangan dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), brain drain merupakan kondisi dimana ilmuwan, intelektual, dan cendekiawan memilih tinggal di luar negeri. Pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Semarang (Unnes), Edi Subhkan, menilai fenomena ini merupakan cerminan kekecewaan anak muda terhadap pemerintah. “Menurut saya, ini bentuk kekecewaan dari banyak orang, tak terkecuali anak-anak muda dan cendekiawan, yang merasa bahwa pemerintah tidak memperhatikan aspirasi dan masa depan mereka,” jelasnya kepada Kompas.com, Selasa (18/2/2025).
Kondisi tersebut menjadi momentum penting bagi pemerintah untuk mengevaluasi sistem yang ada. Dengan memahami berbagai alasan, mulai dari aspek politis hingga ekonomi dan sosial budaya, diharapkan pemerintah dapat menciptakan kebijakan yang lebih inklusif dan memberikan peluang yang lebih baik bagi generasi muda Indonesia.(*)
Penulis: Nicky
Editor: Willy