

Akurasi.id, Sangatta – Penderita Human Immunodeficiency Virus dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) memang masih cenderung mendapatkan perilaku diskriminasi dari masyarakat. Cap sebagai orang dengan perilaku seks bebas masih begitu kuat terlabelkan.
baca juga: Akui Adanya Keteledoran, Polisi Santuni Istri Mayat yang Meninggal Terborgol di Sungai Mahakam
Hal serupa pun dirasakan Umar, salah seorang penderita HIV/AIDS di Sangatta, Kutai Timur (Kutim). Sebagai orang dengan HIV/AIDS (ODHA), Umar mengakui acap mendapatkan perilaku diskriminasi dari masyarakat. Bahkan tidak sedikit dari orang terdekatnya yang mengetahui dirinya sebagai ODHA, kerap menjauhi dan mengucilkannya.
Hal itu diungkapkan Umar saat berbagi cerita dan pengalaman sebagai ODHA pada acara seminar Hari AIDS Sedunia yang dihelat Dinas Kesehatan (Dinkses) Kutim di Ruang Meranti, kantor Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kutim, Rabu (8/1/20) pagi.
Pada seminar kesehatan dalam rangka memperingati Hari AIDS Sedunia itu, Umar mengatakan, penderita HIV bisa beraktivitas normal dan mematahkan stigma buruk mengenai HIV itu sendiri.
“Saya terinfeksi HIV dari 2007 akibat salah pergaulan dan konsumsi barang haram. Waktu itu saya adalah orang yang tidak paham informasi, saya hanya mengetahui HIV bisa menular lewat hubungan seks dan tidak tahu bisa melalui pengguna Napza (narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif),” ujar Umar di depan peserta seminar di ruang Meranti, (08/01/20).
Umar menambahkan, dukungan dari orang terdekat menjadi salah satu cara untuk pulih. Ia kemudian melanjutkan dengan bercerita bahwa ia memiliki support system dari keluarga yang baik. Baginya dukungan orang terdekat dan keluarga dibarengi dengan kebiasaan rutin mengonsumsi obat serta menjalani terapi ARV ialah jalan untuk pemulihan yang lebih cepat.
“Kalau ditanya kenapa bisa sesehat ini karena terapi ARV (Antiretroviral). Terapi tersebut sangat penting, kalau disuruh minum ya diminum. Diminum seumur hidup dan tepat waktu jangan sampai terlambat,” ujarnya.
Kebanyakan orang terinfeksi kemudian sedih, mengurung diri dan tidak memiliki support system dari keluarga. Hal itu yang membuat kebanyakan dari para penderita HIV/AIDS cenderung stres. Akibatnya, malas mengonsumsi obat dan menjalani terapi lainnya.
“Jika bertemu dengan teman-teman kita harus encourage. Bagaimana caranya pelan-pelan berbicara dengan keluarga atau kemudian mencari kelompok dukungan,” ungkap Umar.
Perilaku diskriminatif dari masyarakat juga pernah dialaminya. Ia takut untuk bertemu bahkan bercerita kepada orang. Ia kemudian menyadari bahwa stigma dan perilaku diskriminatif tersebut terjadi karena kurangnya pemahaman. Umar akhirnya memutuskan untuk berbicara.
“Akhirnya sejak hari itu saya memutuskan bahwa (penderita) HIV harus punya wajah. Kalau kita terus bersembunyi kemudian kita meminta orang agar tidak mendiskriminasi lalu ODHA juga mendiskriminasi dirinya sendiri tidak akan selesai,” tambahnya.
Meskipun begitu, permasalahan tidak berhenti pada stigma saja. Ia menyebutkan masih banyak masyarakat yang berpikir HIV/AIDS disebabkan moral yang tidak baik. Karena itu, jangankan untuk berobat, untuk memeriksa diri saja mereka malu.
Menurut Umar, diskriminasi dari lingkungan sekitar membuat seseorang menjadi takut dan malu untuk sekadar mengecek apakah tertular HIV/AIDS atau tidak. Apalagi lingkungan terdekat mereka tidak memberi dukungan karena adanya stigma pada penyakit ini.
“Kalau keluarga memberikan dukungan total untuk memeriksa atau berobat, tentunya orang yang rentan atau ODHA tersebut akan mau ke dokter dan penyebaran virus ini pun dapat ditekan,” kata Umar.
Umar kemudian memberikan pesan untuk orang yang baru mengetahui dirinya positif HIV untuk jangan menyangkal serta memaafkan diri dan menghadapinya secara ikhlas. Tidak lupa pula untuk mencari kelompok dukungan jika sulit menceritakannya kepada orang tua.
Kelompok dukungan bisa diketahui melalui dokter. Selain itu, pesan penting untuk jangan lupa menjalani terapi ARV. Menjalani perawatan sebelum diri memasuki fase AIDS akan mempercepat pemulihan.
“Puskesmas akan menjamin kerahasiaan data pasien. Hasil tes akan diketahui 15 menit setelah tes dilakukan,” katanya.
Kini Umar menjabat sebagai pendamping ODHA untuk wilayah Kutim. Hingga saat ini Umar mendampingi sekitar 50 ODHA yang ada di wilayah Kutim untuk diberikan dukungan.
“Sampai saat ini aktif mendampingi ODHA, terus memberikan support dan membantu untuk menguatkan serta aktif berbagi di lapangan seperti dalam seminar kesehatan hari ini,” tutupnya. (*)
Penulis: Ella Ramlah
Editor: Dirhanuddin