HeadlineTrending

Ketika Isran Keluhkan Jalan Daerah Rusak Bagai Ombak Laut Pasifik Akibat Tambang Ilegal Merajalela

Loading

Gubernur Kaltim Isran keluhkan keadaan jalan di daerah rusak parah seperti ombak di lautan pasifik. Sebagai dampak ramainya tambang ilegal di Tanah Benua Etam, sebutan lain Kaltim.

Akurasi.id, Samarinda – Gubernur Kaltim Isran Noor angkat suara berkaitan kondisi jalan negara maupaun jalan daerah dalam keadaan memperihatinkan dan rusak parah. Sebagai dampak dari ulah illegal mining atau tambang ilegal di Tanah Benua Etam, sebutan lain Kaltim.

Hal itu ia ungkapkan saat menghadiri undangan Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VII DPR RI bersama Dirjen Miberba Kementerian ESDM RI. Berlangsung di Ruang Rapat Komisi VII DPR RI, Gedung Nusantara 1 Lantai 1, Senin (11/4/2022). Kesempatan itu Isran ambil untuk keluhkan kondisi jalan daerah.

Baca Juga  Lantaran Ditolak Rumah Sakit di Samarinda, Pasien Isoman Seruduk Kantor Gubernur Kaltim

Ia mengatakan, maraknya tambang ilegal telah menyebabkan rusaknya lingkungan dan infrastruktur. Dana bagi hasil yang kembali ke daerah pun tidak cukup untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan itu.

“Hampir semua jalan negara, provinsi dan kabupaten/kota rusak. Kurang lebih seperti ombak lautan pasifik,” tegasnya.

Orang nomor satu di Kaltim itu menegaskan, menjamurnya pertambangan ilegal itu justru datang setelah adanya UU Nomor 3 Tahun 2020. Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Baca Juga  5 Kasus Terbesar Bontang Selama 2020, Apa Saja?

Tambang Ilegal di Kaltim Menjamur Karena Kewenangan Ditarik Pusat

Berdampak kepada pengebirian wewenang daerah. Selain itu, menyebabkan wibawa negara menjadi hilang. Sebab, tidak pernah ada penindakan secara tegas.

“Kemajuan tambang ilegal setelah ada UU itu sangat luar biasa. Belum ada izin saja sudah di tambang. Pertanyaan saya, kenapa UU ini dibuat? Wibawa negara sudah tidak ada. Sedikit saja sisanya,” keluhnya.

Menurut Isran, semua ini terjadi karena  kewenangan perizinan pertambangan beralih ke pusat. Bahkan, pemerintah daerah tidak memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan.

“Saat ada perubahan UU 23 Tahun 2004, masih lumayan. Karena provinsi masih memiliki porsi pengawasan. Tapi, setelah ada UU, semuanya selesai,” ucapnya.

Seharusnya, lanjut dia, pengawasan pelaku tambang di daerah terintegrasi. Provinsi juga mendapat kewenangan. Dari perencanaan, pelaksaan dan pengawasan.

“DPR mestinya memikirkan aturan. Agar negara tidak rugi dan masyarakat juga dapat manfaat dari pengelolaan tambang,” ujarnya.

Sebagai informasi, sejak 2019 hingga 2022, Pemprov Kaltim mendapat 85 laporan kasus illegal mining. Dari data tersebut, kasus tambang illegal terbanyak terdapat di Kutai Kartanegara dan Samarinda.

Jatam Kaltim: Tambang Ilegal Kejahatan Terorganisir yang Dibiarkan Merajalela

Sebelumnnya, Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim Pradarma Rupang selalu mengungkapkan, bahwa maraknya tambang ilegal merupakan kejahatan terorganisi yang dibiarkan merajalela. Sebab, pemerintah berulang kali bungkam atas laporan akademisi maupun masyarakat. Dengan alasan, wewenang merupakan hak pusat berdasarkan UU Nomor 3 Tahun 2020.

Sementara data Jatam Kaltim menyebut, dalam kurun waktu 2018 – 2021, sedikitnya ada 151 lokasi Pertambangan Tanpa Izin (PETI) di Kaltim. Kasus itu tersebar di Kutai Kartanegara 107 lokasi, Samarinda 29 lokasi, Berau 11 lokasi, dan Penajam Paser Utara 4 lokasi.

Hal inipun memiliki dampak sosial berkepanjangan bagi masyarakat. Puluhan anak meregang nyawa di lubang bekas tambang. Selain itu, sejumlah kawasan di Kaltim harus menderita banjir terdalam sepanjang sejarah. Seperti di Muang Dalam.

Kemudian, banyak insfrastruktur jalan umum rusak akibat angkutan batu bara. Sebagian besar wilayah hutan pun gundul dan mengurangi kawasan serapan air. Menyebabkan kerugian daerah tak lagi terhitung jumlahnya.

“Tambang ilegal marak karena operasionalnya murah. Hanya perlu menyewa alat berat dan membeli bahan bakar. Pemodal hanya perlu Rp150 juta dan benefitnya mendapat Rp2 miliar hingga Rp3 miliar. Dengan luasan tidak besar, hanya perlu satu atau dua hektar saja. Hasilnya sudah luar biasa,” paparnya. (*)

Penulis/Editor: Devi Nila Sari

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Terkait

Back to top button