
Akurasi.id – Band punk Sukatani mendadak menjadi topik panas di media sosial setelah lagu mereka yang berjudul Bayar, Bayar, Bayar ditarik dari peredaran. Lagu tersebut diduga mengandung kritik terhadap aparat kepolisian, yang memicu reaksi keras dari berbagai pihak. Bahkan, salah satu personelnya, Novi Citra Indriyati, mengalami pemecatan sebagai guru akibat keterlibatannya dalam lagu tersebut.
Setelah lagu itu viral, dua personel Sukatani, termasuk Novi, sempat menyampaikan permintaan maaf. Namun, banyak pihak menilai tindakan ini sebagai bentuk pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi. Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pun turut angkat bicara, menegaskan bahwa sensor terhadap karya seni harus dihentikan demi kemajuan budaya dan peradaban.
Sementara itu, empat anggota Direktorat Reserse Siber Polda Jawa Tengah tengah diperiksa oleh Biropaminal Divisi Propam Polri terkait dugaan intimidasi terhadap band tersebut. Hal ini dilakukan setelah insiden ini menuai kritik luas dari publik dan aktivis kebebasan berekspresi.
Di tengah kontroversi ini, Polri akhirnya memberikan izin kepada Sukatani untuk kembali membawakan lagu mereka. Tak hanya itu, Divisi Propam Polri juga menyatakan komitmennya untuk menjamin keamanan band tersebut dalam konser yang akan digelar di Slawi, Tegal, pada Minggu (23/2).
“Polri juga berkomitmen menjamin keselamatan dan keamanan dua personel band Sukatani. Sebagai bentuk nyata dan komitmen kami, Polri akan melakukan pengamanan pada konser mereka di Tegal tanggal 23 Februari mendatang,” tulis akun resmi Divpropam Polri di X pada Sabtu (22/2).
Meski demikian, perdebatan tentang kebebasan berekspresi di Indonesia masih terus berlangsung. Banyak pihak menilai bahwa kasus Sukatani menjadi bukti bahwa kritik terhadap institusi tertentu masih sulit diterima dan dapat berujung pada tekanan terhadap individu yang menyuarakannya.
Dengan semakin luasnya perbincangan ini, muncul pertanyaan besar: sejauh mana kebebasan berekspresi dapat dijamin tanpa adanya intervensi? Apakah kritik melalui karya seni akan terus menghadapi hambatan, ataukah ini menjadi momentum bagi perubahan yang lebih baik dalam demokrasi Indonesia?(*)
Penulis: Nicky
Editor: Willy